Kacamata Peradaban

2016/04/24

JEJAK SENI DALAM PERADABAN ISLAM



Seni merupakan salahsatu bagian terpenting dalam kehidupan manusia, karena dengan seni manusia mampu membangkitkan jiwanya menjadi lebih bergairah. Bukankah ketika kita mendengarkan sebuah lagu yang kita sukai di pagi hari dapat membuat kita menjadi lebih bersemangat? Atau ketika kita dibacakan sebuah puisi oleh pacar mampu membawa kita ke suasana yang romantic?  Begitulah seni, mampu memberikan keindahan kepada penikmatnya, hingga Abu Jahal pun harus sembunyi-sembunyi untuk menikmati indahnya lantunan ayat suci Al-Quran dari seorang Sahabat, bahkan Abu Bakar yang seorang preman pasar itu pun harus mengakui keindahanya ketika mendengarkan adiknya membacakan Al-Quran. Tapi bukankah ada beberapa ulama yang mengharamkan sebuah lukisan sebagai bagian dari seni? Maaf, dalam tulisan kali ini, saya tidak hendak membicarakan bagaimana hukum melukis atau berkesenian. Tulisan ini hendak membicarakan eksistensi seni dalam Islam.
Sejak Islam turun ke muka bumi melalui Muhamad bin Abdullah SAW, pada dasarnya Islam sudah mulai menunjukan tanda-tanda kesenian. Islam diturunkan kepada Rasul melalui sebuah wahyu dalam bentuk firman-Nya yang dianggap oleh para penyair Quraisy sebagai syair-syair ciptaan Jin. Artinya, sejak awal Firman Allah diturunkan, Al-Quran sudah dalam bentuk seni, isinya tidak hanya menyuguhkan keindahan dari setiap kata yang tersusun, meminjam bahasa Karel Amstrong, bahasa Al-Quran bahkan mengandung mistis (spiritual).
Islam bukanlah agama yang menolak seni, bahkan Islam sangat memperhatikan dan menghargai seni. Bukankah Rasulullah bersahabat baik dengan seorang penyair bernama Hassan Ibn Tsabit dan memuji-muji syairnya? Rasul SAW pun memberi pujian terhadap syair Ka’b bin Zuhayr dan memberinya sebuah jubah kehormatan. Hingga jejak rasulullah tersebut dilanjutkan oleh para Khalifah dan Sultan dengan memberi penghargaan kepada para penyair sesuai degan keahlianya.
Bagaimana dengan Seni Rupa? Apakah ada jejak Seni Rupa dalam Islam, sementara sebagian ulama ada yang mengharamkanya, khususnya gambar?
Seni Lukis, memang suatu bagian seni yang masih di perdebatkan halal haramnya hingga sekarang. Namun, saya menemukan kisah yang membuat saya sendiri sedikit terkejut membacanya. Cerita tersebut dari Azraqi, seorang penulis sejarah Mekah di masa awal. Ia menceritakan bahwa ketika Muhamad dan sahabat memasuki kota Mekah setelah kemenanganya, Rasulullah memerintahkan supaya gambar-gambar yang berada di dalam Ka’bah untuk dihancurkan. Namun, Rasulullah sambil memegang gambar Maria dengan Yesus dipangkuanya berkata: “bersihkanlah semua gambar itu, kecuali yang saya pegang.” Azraqi menceritakan bahwa gambar tersebut tetap disana hingga ketika Ka’bah dihancurkan dalam tahun 63 H.
Meskipun banyak pandangan yang mengharamkan akan pembuatan makhluk hidup berupa lukisan, namun nyatanya seni lukis tidak bisa terlepaskan dalam khasanah intelektual muslim. Memang, Seni lukis belum dikenal oleh umat Islam dari masa Rasulullah dan Khulafaurasyiddin karena umat baru saja terlepas dari kungkungan Jahiliyah yang menghambakan wujud apa saja, termasuk lukisan. Namun pada masa Dinasti Umayah, Sultan Muawiyah dan Abdul Malik memperkenalkan uang logam yang bergambarkan wajah mereka sendiri. Itu memang bukan dalam bentuk lukisan namun hanya bentuk gambar, tapi perlu kita pahami bahwa umat Islam pada saat itu masih sangat sensitif dengan gambar karena beberapa kutipan ayat Al-Quran dan Hadits yang dimaknainya sebagai larangan membuat gambar. Seni Rupa Islam mulai menunjukan eksistensinya ketika seni Kaligrafi dikenal pada masa Dinasti Umayah, ketika Islam sudah menyebar ke berbagai negeri seperti Persia, Mesir dan yang lainya, otomatis umat Islam pun menjlin kontak dengan kebudayaan setempat. Rupanya umat Islam pada saat itu yang sudah menyebar membutuhkan media seni rupa untuk disalurkan, sehingga akhirnya Kaligrafi dipilih menjadi media seni yang cocok untuk dituangkan karena tidak terdapat unsur gambar makhluk didalamnya. Selain itu jika di perhatikan lebih lanjut, seni rupa di dunia Islam muncul di negeri-negeri yang dulunya memang pernah mengenal tradisi seni rupa sebelumnya seperti Persia, Iraq dan Asia Tengah, dimana wilayah-wilayah tersebut merupakan negeri yang meninggalkan jejak-jejak kuno.
Seni lukis Islam tertua yang dapat dilacak, ditemukan di dinding istana Dinasti Umayah yang dibangun oleh Sultan Walid I pada tahun 712 M, lukisan tersebut bersifat dekoratif  yang di isi oleh lukisan alegoris dan gambar berbagai macam hewan dan tanaman di Qushair Amra, Syiria. Munculnya lukisan tersebut dimaknai oleh Abdul Jabbar sebagai wujud dari penentangan terhadap anggapan bahwa melukis diharamkan sebab kemunculanya di abad ke 8 M merupakan era dimana umat muslim masih terlalu selektif terhadap sesuatu yang ada diluar Islam. Lukisan lain ditemukan di tembok bekas istana Sultan al-Mu'tazim dari Bani Abbasiyah di Samarra, Iraq, yang dibangun pada tahun 830-9 M. Lukisan lain juga dapat ditemukan di Nisyapur, Iran Utara, berupa gambar berelung pada gif yang menampilkan motif vas dan bunga sekitar abad ke-10, kemungkinan itu terjadi ketika Nisyapur menjadi pusat peradaban Islam.
Seni lukis berkembang secara pesat sekitar abad ke-13 ketika negeri Persia secara bergantian diduduki oleh dinasti Persia, Turk, dan Mongol. Ketiganya terkenal sebagai dinasti-dinasti yang mencintai dan melindungi seni lukis. Sejak akhir abad ke-13 M, banyak pelukis Cina yang didatangkan oleh penguasa Mongol untuk menghiasi dinding-dinding istana mereka. Dari pelukis-pelukis Cina inilah banyak seniman Muslim yang belajar tehnik melukis dan mengolah warna-warna. Namun sangat disayangkan, peninggalan lukisan-lukisan muslim tersebut tidak banyak ditemukan sampai sekarang, hal tersebut menurut Abdul Hadi W. M. dikarenakan dua bencana yang pernah dialami umat Islam. Pertama akibat kebakaran yang pernah melanda perpustakaan Kairo pada masa dinasti Fatimiyah di abad ke-12. Bencana kedua adalah musnahnya perpustakaam di Baghdad akibat penyerbuan bangsa Mongol pada tahun 1256 M.
Kemudian, selain seni lukis ada pula seni yang sangat minim dalam khasanah intelektual muslim, yaitu seni teater. Meskipun sejarah Islam telah melakukan perjalananya yang sangat panjang, namun seni teater sangat sedikit disentuh oleh seniman muslim. Padahal Islam telah berhasil melangkahkan kakinya ke Eropa, bersentuhan dengan kebudayaan Yunani. Saya yakin kalau ilmuan muslim telah mengenal karya-karya peradaban lain seperti tragedi Sofkos, Aeschylos, dan Euripides. Namun kita tidak pernah bertemu dengan terjemahan-terjemahan karya teater tersebut dalam literatur Islam. Menyikapi hal tersebut, Fauz Noor meyakini bahwa penyebab umat Islam tidak menyentuh karya-karya teater Yunani tersebut karena teater-teater Yunani bercampur aduk dengan mitologi, bahkan Dewa kadang ikut aktif menjadi pelaku, ikut menentukan nasib manusia. Sementara ilmuan Muslim pada saat itu sangat selektif dalam membuat karya. Penafsiran terhadap karya-karya teater tersebut dikhawatirkan akan merusak tauhid.
Dalam perjalananya, kalangan Sunni tidak berhasil dalam menciptakan karya teater Islam. Justru kalangan Syiah lah yang berhasil menciptakan karya teater Islam dengan corak teater Persianya. Golongan Syiah berhasil mmenciptakan drama dengan tokoh Imam Husein bin Ali R.A. dengan melukiskan sosok Imam Husein sebagai pahlawan yang memiliki kecintaanya terhadap Allah SWT. Pementasan teaterikal ini biasa dipentaskan setiap tahun menjelang Muharam dengan puncaknya pada tanggal sepuluh atau dikenal dengan hari Asyura.
Melihat begitu selektifnya ilmuan Muslim pada masa itu, seni teater tidak disentuh secara serius. Bahkan untuk mentrasformasikanya menjadi lebih islami pun ilmuan Muslim pada saat itu tidak berhasil. Namun kita tidak perlu kecewa, karena transformasi karya teater tersebut bisa di wujudkan oleh para Wali di Indonesia ketika mengislamkan wayang. Para Wali berhasil  mentransformasikan cerita Azimat Kalimusada menjadi Azimah Kalimah Syahadat, yang dalam ceritanya hanya bisa dimiliki oleh keluarga baik-baik seperti Pandawa. Pandawa Lima yang terkenal tersebut adalah Yudistira, Seno Werkudoro (Bima). Permadi Janoko (Arjuna), Nakula, dan Sadewa. Kelima tokoh tersebut dihubungkan oleh Wali sebagai kewajiban umat Islam yang lima, yaitu Syahadat, Shalat, Puasa Ramadhan, Zakat, dan Haji.
Demikian lah jejak Seni dalam peradaban Islam, sebagai agama yang mengutamakan keselarasan kehidupan dunia dan akhirat, Seni merupakan bagian terpenting dalam menjalani kehidupan. Tanpa seni hidup kita akan terasa kering, tidak ada kegairahan dalam menapaki kehidupan yang fana ini. Seperti kata Fauz Noor, “agama tanpa seni itu gersang, dan seni tanpa agama itu fulgar.” Keduanya seperti dua sisi dalam muka koin, satu yang tak terpisahkan. Islam pun tidak mungkin mengejewantahkan seni, sebab Muhamad Iqbal pernah berkata, “Islam tidak mungkin meninggalkan sesuatu yang berguna bagi kemajuan zaman.” Bukankah Rasulullah SAW pun sangat menyukai syair Ka’b bin Zuhayr?
Penulis: Muhamad Maksugi

Sumber:

Abdul Hadi W. M. Seni Lukis: Dan Pemikirannya Pada Masa Permulaan Islam ahmadsamantho.wordpress.com
M. Abdul Jabbar Beg, M.A., Ph.D. Seni di dalam peradaban Islam dihimpun, Penerbit Pustaka Bandung, 1988M.
Fauz Noor, Tapak Sabda, LKIS, Yogyakarta


Share this:

Comments
0 Comments

Posting Komentar

 
Back To Top
Distributed By Blogger Templates | Designed By OddThemes