Kacamata Peradaban

2016/10/07

KAU SITI MARYAM




“Sudahlah Sit, sebaiknya kau tak lagi pergi ke tempat itu, kasihan anakmu.” Saran lelaki yang sedang mengkompres luka memar di pipinya. Suaranya memecahkan keheningan malam yang semakin gelap.

“Kasihan katamu? Aku lebih kasihan kalau anak ku tak makan seharian.” Dia tepis tangan lelaki yang sedang berusaha menyembuhkan luka di pipinya, tatapanya berubah menjadi tatapan Singa yang mengancam.

Lelaki itu mundur, ia tak mau kalau wanita yang telah menjadi Singa di depanya menjadi semakin galak. Lalu ia letakan lap yang di genggamnya ke baskom berisi air yang berwarna agak ke merah-merahan akibat darah. Ia tatap anak laki-laki berumur 15 tahun yang sedang tertidur pulas di belakang perempuan itu. Tubuhnya di selimuti tiga lapis sarung kusut di bangku panjang dekat dinding yang terbuat dari kayu yang sudah kropos. Di atasnya terpajang sebuah foto yang menunjukan siapa penghuni rumah kontrakan ini. Foto tersebut menunjukan seorang perempuan dewasa yang menggendong anak laki-laki berumur lima tahunan. Tak ada foto lelaki dewasa yang terpajang di dinding dengan cat yang sudah menguning itu.

Lelaki tersebut berdiri, lalu membalikan badanya meninggalkan perempuan yang pipinya terluka, anak bujang yang tertidur pulas, dan rumah kontrakan yang tak ada satupun perabotan mewah. Langkahnya memecah kesunyian malam yang tak ada satupun suara lagi selain deruman dan getaran kereta yang kadang-kadang lewat.

Ia tarik pintu yang terbuat dari kayu bekas di depanya sehingga menciptakan suara yang mengilukan akibat gesekan engsel karatan yang lama tak di beri oli. Langkah dan gerakanya tiba-tiba terhenti, ia balik arah dan menatap perempuan yang terluka itu dengan iba.

“Anakmu tadi mengigau memangil namamu, suaranya keras sampai terdengar olehku yang baru pulang kerja. Aku hampiri dia, suhunya sangat tinggi. Aku tak tau harus berbuat apa untuk anakmu, lalu aku selimuti dia dengan sarung yang ku temukan setelah mengobrak-abrik lemarimu, maaf aku sudah membongkar lemarimu, Sit. Lalu aku putuskan untuk mencarimu disana.”

Lelaki itu keluar menembus kegelapan malam diiringi oleh suara ngilu yang diciptakan dari engsel pintu karatan.

***

Sekitar beberapa jam yang lalu, lelaki itu keluar menyusuri trotoar jalan meninggalkan bujang kecil yang sedang demam tinggi. Langkhnya kaku, kakinya terlalu lelah untuk di ajak berjalan lagi setelah seharian kerja kuli. Tubuhnya menggigil karena angin malam, apalagi ketika dilewati oleh kendaraan dengan kecepatan tinggi, angin yang berhembus menusuk sampai ke tulang-belulang.

Ia sampai di suatu tempat yang aktifitasnya ramai untuk ukuran tengah malam. Di pinggir jalan, berderet beberapa wanita-wanita cantik hasil polesan lipstik dan bedak. Ada juga seorang lelaki yang sedang bercengkrama dengan salahsatu wanita diantaranya, sambil sesekali tertawa. Ia perhatikan satu per satu deretan wanita tersebut, barangkali ibu dari bujang yang sedang demam tinggi juga ikut berjajar disana.

Setelah menelusuri jalanan diantara deretan wanita-wanita bergincu dan lelaki-lelaki binal, ia tiba di gang sempit dan sepi yang lorongnya gelap. Sambil berusaha mendapatkan cahaya, ia langkahkan kakinya masuk ke dalam.

Dalam terpaan sinar bulan, tiba-tiba terdengar jerit wanita dengan keras di ujung lorong. Jeritanya menghentikan langkah sang lelaki dan memecahkan kesunyian malam. Segera ia berlari menuju sumber jeritan di ujung lorong yang cahayanya semakin terang akibat penerangan bolham lima wat bercahaya kuning.

Ketika jarakanya semakin dekat dengan ujung lorong yang mentok membentuk belokan ke kanan, suara jeritanya semakin jelas dengan iringan rintih dan tangisan yang menahan rasa sakit. Tiba di belokan kanan lorong, tepat di bawah lampu bolham lima wat bercahaya kuning, sang lelaki itu terperanga mendapatkan seorang perempuan yang tak asing baginya dengan muka memar bekas pukulan dan pakaian compang-camping memamerkan sebagian tubuhnya. Di depan perempuan itu terdapat dua orang lelaki bertubuh kekar dengan pakaian ala preman yang salahsatunya memegang balok kayu.

“Sit, Siti. Siti Maryam!?” teriak lelaki itu dengan cemas. Teriakanya membuat semuanya melirik.

“Yusuf?” Lirih Siti Maryam samar sambil menahan sakit.

“Oh... rupanya ada pahlawan kebajikan datang.” Kata seorang lelaki berpakaian preman yang tak memegang balok. Kepalanya botak polos dengan kumis baplang.

“Apa kau mau merasakan seperti apa yang pelacur tak tau diri ini rasakan juga!?” kata lelaki pemegang balok kayu dengan rambutnya yang gondrong.

Mendengar sentakan tersebut, Yusuf merasa terancam lalu menjadi siaga. Ia pasang kuda-kuda lalu memperhatikan setiap senti gerakan kedua orang berpakaian pereman didepanya seperti seorang pesilat pro.

“Kenapa kalian perlakukan perempuan seperti binatang begini?” Tanya Yusuf dengan nada tinggi menuntut tanggungjawab perlakuan mereka.

Cuih... harusnya dia bersyukur aku tak memperkosa dan membunuhnya.” Kata lelaki gondrong dengan balok kayu yang dipegangnya dengan erat.

Angin berhembus dengan kencang, merontokan daun-daun kering dan debu-debu ke tengah mereka. Malam begitu sunyi. Tak ada jangkrik ataupun burung hantu yang biasa ikut mendendangkan nyanyian malam. Hanya daun-daun yang tersapu angin malam saja yang mau mewarnai nyanyian malam.

Pertarunganpun terjadi, kedua lelaki berpakaian preman secara tiba-tiba menyerang Yusuf secara bergantian. Bagai seorang pesilat pro, Yusuf yang sejak kecil dibekali ilmu bela diri oleh ayahnya mampu menghindari serangan bertubi-tubi dari keduanya dengan mudah.

Dalam peluang yang hanya mampu di manfaatkan sekitar sepersekian detik, Yusuf berhasil menghantamkan kepalan tanganya yang sudah terlatih ke muka lelaki gondrong sampai terjungkal, lalu mengambil alih kayu balok dari tanganya dan menghantamkanya tepat dibagian muka sekitar mata musuh yang satunya. Keduanya terkapar.

Lelaki gondrong yang mendapatkan serangan pertama bangkit kembali dan melayangkan sebuah pukulan keras mengarah ke muka Yusuf. Dengan instingnya yang sudah terlatih, Yusuf mampu merasakan ancaman yang datang kurang dari satu detik itu, sehingga mampu menangkisnya dengan balok kayu yang dihantamkan ke tangan si lelaki gondrong dan membuat arah seranganya berbelok.

Dalam keadaan posisi si lelaki gondrong yang sedang tak seimbang, balok kayu yang digenggam Yusuf kembali di ayunkan dengan keras. Kali ini seranganya mengarah ke bagian sensitif manusia di sekitar leher. Seranganya membuat lelaki gondrong itu tergeletak tak sadarkan diri.
Dua orang telah terkapar di hadapanya, mukanya Yusuf menjadi pucat dan badannya kelelahan. Dengan dada yang naik turun, ia lepaskan balok di tanganya dengan lemas lalu menghampiri Siti.

“Kau tidak apa-apa, sit?”

Plaak. Tiba-tiba sebuah telapak tangan mengarah ke pipi Yusuf dengan keras.
“Kau kenapa?” tanya Yusuf yang kebingungan.

Seketika air mata Siti mengalir membasahi pipinya, bercampur dengan darah segar di ujung bibirnya.

Keduanya terdiam dalam kesunyian. Mereka saling menatap, mencoba menerjemahkan bahasa diam yang tak dimengerti oleh keduanya. Karena khawatir kedua orang berpakaian pereman itu bangkit lagi, bahasa diam yang sedang mereka terjemahkan pecah ketika Yusuf mengajak Siti untuk segera bergegas, pulang ke rumah yang di kontrak.

***

          Langit telah biru, cerahnya memberi kabar kepada siapa saja kalau hari sudah siap untuk segera di gerayangi. cahayanya menerpa bumi, menerobos ke sela-sela ruang terkecil, masuk ke kamar-kamar binatang jenis melata sekalipun. Di sela jendela yang gordengnya menggunakan koran bolong-bolong, cahaya berhasil masuk ke ruangan yang sempit, lalu menerpa muka Yusuf yang kusut yang mulai gelisah karena tidurnya terganggu. Ia membuka mata, cahaya siang yang menyilaukan membuat dia terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Ia arahkan pandangan pada jam dinding yang berada tepat di hadapanya.

Di bawah jam dinding itu tergantung sebuah foto hitam-putih sosok kakek tua berpeci hitam dengan bingkai yang terbuat dari kayu jati, kakek tua itu adalah ayahnya. Di pinggir foto terdapat golok yang menggantung, sarungnya dihiasi oleh ukiran huruf Arab sisa peninggalan ayahanda. Golok itu menjadi saksi kematian Ayahnya saat melawan komplotan Komunis yang membunuhnya karena anti terhadap pemuka agama. Sengaja ia pajang foto itu di sana agar bisa mengingat sang Ayahanda dan petuah-petuah kebajikanya saat terbangun dari tidur.

Waktu sudah menunjukan jam sepuluh kurang lima menit, pekiknya dalam hati.

Dalam lamunanya yang bernostalgia dengan petuah-petuah bijak ayahnya, tiba-tiba suara keributan terdengar dari luar yang diiringi dengan teriakan-teriakan tak terkendali. Secara spontan, Yusuf bangkit dari tempat tidurnya meninggalkan kasur lantai yang kapuknya sudah banyak yang keluar. Ia ambil sebuah golok dengan sarung yang berhias huruf Arab yang tergantung di sebelah bingkai foto kakek tua, lalu keluar menuju sumber keributan.

Disumber keributan, kontrakan Siti Maryam yang semalam ia datangi sedang dikerumuni oleh banyak preman-preman, sementara warga sekitar hanya menyaksikan dari kejauhan karena tak mau ikut berurusan dengan pereman-pereman tersebut.

Di depan pintu kontrakan yang halamanya hanya dihiasi teras sepanjang satu meter, Siti Maryam sedang tergeletak tak berdaya sambil terus dihujani tendangan keras dari kaki yang menggunakan sepatu boat. Sementara anak bujang Siti sedang menangis di pojok dinding dengan darah segar yang mengalir di pipinya.

Melihat kondisi yang begitu mengkhawatirkan, peredaran darah yusuf seketika mengalir tak terbendung, jantungnya berdebar dengan cepat.

Dengan ancang-ancang golok yang siap diayunkan, Yusuf berlari dengan cepat menuju preman-preman yang mengkerumuni Siti Maryam. Ia tebas satu per satu preman-preman yang ia lewati, darah mengalir di tanah yang kering. Seranganya mendadak, membuat lawanya tak mampu menyiapkan diri untuk mempertahankan diri atau melakukan serangan. Seranga Yusuf mampu membuat para preman mundur dalam beberapa langkah, sehingga Yusuf mampu mendekati Siti Maryam.

“Kau tak apa Sit?” kata Yusuf dengan khawatir, sambil memeriksa keadaanya.

“Pe... pe... pergi!” perintah Siti yang bersusah payah untuk berbicara.

“Tidak! Aku tidak akan pergi.”

“Ke... kenapa ka.. ka.. kau begitu pe... pe... peduli?”

Yusuf terdiam, dia tak menjawab pertanyaan itu. Yang dilakukanya hanya menatap mata Siti Maryam.

Siti Maryam larut dalam tatapan Yusuf, ada sesuatu yang berbeda dari tatapanya. Tatapan yang belum pernah ia dapatkan dari berbagai lelaki yang pernah ia cumbu atau yang ia kenal. Ini bukan tatapan yang penuh nafsu yang sering ia dapatkan setiap malam. Bukan pula tatapan rasa iba seperti yang diberikan kerabat-kerabatnya. Entahlah, baginya tatapan ini merupakan tatapan yang baru ia dapatkan sepanjang perjalanan hidupnya. Aneh, tatapanya mampu membuat Siti nyaman dalam beberapa detik lalu melupakan rasa sakit disekujur tubuhnya.

Angin berhembus membawa debu-debu di tanah yang gersang, terbang mengikuti arah angin pergi. Satu daun kering jatuh tertiup, melayang bersama debu-debu kemarau, menikuk turun ketika angin terhenti, lalu jatuh diantara Yusuf dan Siti, menghalangi pandangan mereka berdua.

Jlebbb.

Tiba-tiba sebuah belati tertanam di punggung Yusuf, lalu menembus ke dada, tepat mengenai jantungnya. sebuah golok yang Yusuf pegang erat terlepas, kemudian tergeletak begitu saja di tanah. Tubuhnya terkulai, lalu roboh. Tiba-tiba air mata Siti tergerai begitu saja bercampur bersama darah segar.

Sebuah muka dengan senyuman yang sinis muncul dibalik pundak Yusuf yang roboh, memberikan pemandangan yang mengerikan bagi Siti.

Sejurus kemudian, lelaki yang tersenyum sinis dibalik pundak Yusuf yang roboh tadi menarik Siti dengan paksa, lalu membawanya ke luar desa meninggalkan jasad Yusuf dan anak bujangnya yang dari tadi menangis.

Zakaria, anak bungsu Siti yang berdiri di pojok dinding sejak tadi itu sudah mulai menghentikan tangisnya. Ia teringat dengan pesan ibunya, kalau anak lelaki jangan jadi pengecut, apalagi penakut.


Dengan menabahkan dirinya sendiri sambil masih terisak-isak, ia mendekati jasad Yusuf lalu mengambil golok yang tergeletak di tanah. Ia pegang erat-erat golok yang gagangnya berbentuk Singa itu, lalu mengacungkan golok itu ke atas sambil berteriak, “DARAH HARUS DIBAYAR DARAH”

Share this:

Comments
0 Comments

Posting Komentar

 
Back To Top
Distributed By Blogger Templates | Designed By OddThemes