Kacamata Peradaban

2016/10/09

Inilah Kehidupan Istri Simpanan Orang Belanda di zaman Kolonial


            Kebutuhan seksualitas pada diri manusia memang tidak pernah terlepas dalam perjalanan sejarah dalam suatu zaman, tak terkecuali di zaman kolonial. Orang-orang Belanda yang melakukan tugas di tempat koloninya, terkadang memaksa mereka untuk meninggalkan orang-orang terdekatnya, tak terkecuali istrinya. Hal ini membuat mereka mencari cara lain untuk menyalurkan hasrat birahinya, seperti pergi ke tempat prositusi.

Namun, tempat prostitusi di zamanya belum bisa memberikan keamanan terhadap ancaman penyakit kelamin. Maka cara yang paling aman untuk tetap menyalurkan hasrat birahi adalah dengan melakukan pergundikan, atau memiliki istri simpanan dari masyarakat pribumi, bahkan dibeberapa tempat para gundik juga berasal dari orang Cina dan Jepang. Para gundik melakukan berbagai aktifitas rumah tangga seperti pada umunya dan menjadi wadah pemuas birahi para tuan Belanda.

Pergundikan semacam ini sempat ramai dilakukan sejak priode VOC. Pada awalnya, pemerintah VOC memberikan kebijakan untuk mendatangkan istri-istri orang Belanda dan kelompok-kelompok kecil gadis Belanda dari rumah-rumah yatim piatu Belanda untuk dinikahkan dengan pejabat-pejabat VOC tinggi maupun rendah. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi intensitas para pejabat Belanda yang hidup bersama dengan para gundik karena tidak sesuai dengan peradaban tinggi bangsa Belanda. Namun ditahun 1647, kebijakan tersebut dikecam karena dengan didatangkanya wanita Belanda membuat pengeluaran pemerintahan VOC menjadi tinggi. akhirnya pada tahun 1657 pemerintah VOC hanya membolehkan istri para pejabat tinggi dan penting saja untuk membawa istrinya. Sejak itulah pergundikan kembali marak dilakukan, khususnya oleh para pegawai perkebunan.[1]

Hubungan seorang Belanda dengan gundik memang tidak memiliki legalitas secara hukum Hindia Belanda yang tidak berpihak kepada pribumi, sehingga kedudukan para gundik yang diberikan kesempatan untuk menikmati kemewahan harta dari seorang Belanda bisa hilang kapan saja ketika seorang Belanda sudah tidak tertarik lagi kepada seorang gundik.[2]

Kondisi demikian terekam dalam karya sastra Pramoedya Ananta Toer dalam Roman Tetralogi Buru Bumi Manusia nya yang menggambarkan seorang gundik dari seorang Belanda Herman Mellema bernama Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh terpaksa melepaskan harta kekayaan yang dibangun dari Herman Mellema karena harta kekayaanya dituntut oleh anak Herman Mellema yang sah di Belanda bernama Maurist Mellema setelah Herman Mellema meninggal. Akhirnya Nyai Ontosoroh tidak memiliki harta lagi.[3]

  Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kemewahan yang dimiliki oleh seorang gundik sangat terikat oleh seorang Tuan Belanda. Sekalipun seorang gundik bisa menikmati kemewahan, namun secara sosial mereka tidak bisa naik kelas setara dengan kaum indo atau kaum totok. Hal tersebut terjadi karena struktur sosial yang eksklusif, orang pribumi dipandang sebagai kalangan kelas sosial terendah yang tidak beradab dan terbelakang.

  Seorang gundik, mereka biasa disebut sebagai Nyai di masa kolonial. Menurut JJ Rizal kata Nyai sudah diselewengkan oleh kolonialisme sehingga menggambarkan sosok yang memiliki sifat penghasut, haus harta, irasional, berpikiran sempit, pencuriga, dan sebagainya yang jelek-jelek, seperti yang digambarkan G. Francis dalam karya sastranya Nyai Dasima.[4]

Dibalik penafsiran G. Francis yang memandang sosok Nyai sebagai tokoh yang buruk dalam karya sastranya tersebut, secara harfiah menurut KBBI, kata nyai memiliki arti sebagai istri gelap, atau wanita simpanan yang tidak pernah dinikahi.

Realitas pergundikan di zaman kolonial tersebut terjadi akibat kondisi sosial yang tersistematis oleh pemerintah VOC. Sejak diberlakukanya pembatasan wanita Belanda ditahun 1652, pergundikan menjadi semakin ramai dilakukan. Hal tersebut seolah mendapatkan dukungan dari pemerintah VOC karena perkawinan sah antara orang Belanda dengan penduduk pribumi harus dilakukan dengan persyaratan yang rumit. Kondisi pergundikan juga semakin diperparah dengan keuntungan yang lebih jika memelihara seorang gundik daripada mengawini wanita Belanda. Memelihara seorang gundik dirasa tidak terlalu memberikan beban, karena para gundik terbiasa hidup dengan sederhana. Selain itu, wanita pribumi yang terkungkung oleh kehidupan yang feodal juga membuat mereka menjadi patuh terhadap Tuanya.[5]

Meskipun demikian, kehidupan para Nyai telah menjadi fenomena kolonial yang eksotis. Hal tersebut terbukti dari banyaknya karya sastra yang mengangkat kehidupan para nyai. Tercatat dari karya sastra G. Francis yang mengangkat kehidupan Nyai dasima telah memberikan popularitas terhadap kehidupan Nyai oleh para sastrawan. Sejak penerbitan Tjerita Njai Dasima untuk pertama kali oleh Kho Tjeng Bie & Co, di Batavia pada tahun 1896, cerita ini telah mengilhami orang-orang untuk mengangkat cerita-cerita seputar Nyai, seperti Njai Painah (1900), Njai Alimah (1904), Njai Aisyah (1915), Njai Soemirah (1917), Njai Marsina (1923). Cerita tersebut terus tersohor di Batavia, bahkan Hindia-Belanda, Semenanjung Malaya, dan Singapura.[6]

ditulis oleh: MUHAMAD MAKSUGI



[1] Negeri Wijaya, Daya, Terasing Dalam Budaya Barat Dan Timur: Potret “Nyai” Hindia Belanda, Abad Xvii-Xx, Jurnal, Universitas Negeri Malang, hal. 1-2
[2] Adji, Muhamad, Peran Perempuan Indonesia dalam Perjuangan Kebangsaan (Kajian terhadap Tokoh Nyai Ontosoroh dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer, Jurnal, pustaka.unpad.ac.id, hal. 5
[3] Ananta Toer, Pramoedya, Bumi Manusia, 2001, Yogyakarta: Hasta Mitra.
[4] S.M. Ardan, G.Francis, pengantar JJ Rizal, Nyai Dasima¸2013, Jakarta: Komunitas Bambu, hal. vii
[5] Negeri Wijaya, Daya, Op Cit, hal. 2
[6] S.M Ardan, G.Francis, pengantar JJ Rizal, Op Cit, viii-ix

Share this:

Comments
0 Comments

Posting Komentar

 
Back To Top
Distributed By Blogger Templates | Designed By OddThemes