Kacamata Peradaban

2016/10/12

Pedagang Jepang di Indonesia pada Zaman Kolonial



             Kedatangan Jepang ke Indonesia secara politis dimulai pada tahun 1942 setelah kemenangan Jepang dalam Perang Dunia II, lalu berakhir ketika Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka. Namun, sebelum kedatangan Jepang ke Indonesia secara politis, bangsa Jepang telah lama menetap di Indonesia atau pada saat itu masih sebagai Hindia-Belanda melalui hubungan perdagang.

            Pada masa Restorasi Meiji di pertengahan tahun 1880, Jepang mengalami reformasi melalui percepatan industri dan ekonomi. Pembangunan-pembangunan infrastruktur dalam skala besar merata ke seluruh negeri. Namun meskipun demikian, sebagian besar masyarakat Jepang belum tersentuh teknologi modern. Disisi lain, para cendikiawan Jepang pun menyadari bahwa Jepang merupkan negara yang sempit dan miskin akan sumber daya alamnya, sementara penambahan jumlah penduduk Jepang terus meningkat.

            Untuk mengatasi hal tersebut, tercetuslah sebuah pemikiran yang diberi nama Hokushin-ron dan Nanshin-ron dari seorang cendikiawan Jepang bernama Shiga Shigetaka pada tahun 1887, yaitu memindahkan penduduk Jepang ke negara-negara lain, baik itu ke negara-negara sebelah utara maupun ke negara-negara sebelah selatan Jepang. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi jumlah penduduk Jepang yang pada saat itu terlalu berlebihan. Secara khusus, negara-negara yang disebelah selatan Jepang dimaksudkan ke wilayah Asia Tenggara.

            Sejak di resmikanya kebijakan Nanshin-ron, arus perpindahan dan migrasi ke arah selatan Jepang cukup deras, ditambah lagi dengan informasi yang menyebutkan bahwa prospek kerja serta keuntungan dalam perdagangan di sebelah selatan Jepang atau dalam hal ini Asia Tenggara sangat menjanjikan. Bangsa Jepang kemudian masuk ke wilayah Hindia Belanda melalui Singapura.

            Bangsa Jepang di Indonesia

            Bangsa Jepang yang menetap di Indonesia dapat dijumpai di kota-kota besar Hindia-Belanda seperti Medan, Palembang, Batavia, dan Surabaya. Pada awal kedatanganya, orang-orang Jepang yang masuk ke wilayah Indonesia adalah mereka yang bekerja di bidang prostitusi, Gerombolan orang Jepang disebut sebagai Karayuki-san. Itulah sebabnya bangsa Jepang pada masa itu lebih banyak dijumpai di perkebunan-perkebunan atau pelabuhan yang banyak dikunjungi oleh orang-orang Belanda.

            Setelah keberadaan karayuki-san cukup kokoh, barulah berdatangan bangsa Jepang dari kalangan pedagang, terutama para pedagang kelontong.

            Menurut Shimizu Hajimi, seorang ahli sejarah ekonomi Jepang pedagang kelontong awalnya melayani kebutuhan para karayuki-san dengan menyediakan penyewaan kamar serta membuka kedai makanan yang menyediakan pelayanan pemasangan sanggul cara Jepang. Selain itu, para pedagang juga kemudian melakukan perdagangan secara berkeliling memperjualkan alat-alat tulis, ikat pinggang untuk kimono, barang-barang kelontong dan juga obat-obatan, bahkan hingga mereka melirik pangsa pasar lokal di Indonesia.

            Pada tahun 1900 di Hindia-Belanda, bangsa Jepang mendirikan Asosiasi Kerja Sama Masyarakat jepang (Nihon Kaiga Kyokai), yang kebanyakan anggotanya adalah perempuan Jepang di Batavia. Setelah dibentuknya asosiasi tersebut, pedagang-pedagang Jepang banyak yang mendirikan toko di kota-kota besar, sehingga pionir-pionir toko Jepang yang dianggap sukses mengajak sanak familinya untuk datang ke Indonesia karena perdagangan di Indonesia cukup menguntungkan.

Pada tahun 1920-an perdagangan barang kelontong yang di impor dari Jepang terkenal akan barangnya yang murah dengan kualitas baik, sehingga menggeser kedudukan barang-barang produk Belanda yang relatif lebih mahal. Hal ini membuat pemerintah Hindia-Belanda geram dan membuat kebijakan yang membatasi perdagangan orang-orang Jepang. Meskipun demikian, beberapa produk Jepang masih menguasai pasar Hindia Belanda seperti ikan sardin, bir, hingga barang-barang kramik.

Pada saat Jepang sedang gencar memperluas wilayah teritorialnya di tahun 1930-an, Pemerintah Jepang mulai melirik ingin menguasai sumber-sumber minyak di Indonesia untuk keperluan bahan bakar pasukan perangnya. Hal ini membuat pemerintah Hindia-Belanda resah dan menciptakan konflik berkepanjangan dengan pihak Jepang, hingga secara ekstrim pemerintah Hindia Belanda mencurigai toko-toko Jepang yang ada di Hindia Belanda sebagai mata-mata.

Ketika konflik antara Hindia-Belanda mulai memanas, dan kedua negara tersebut sedang mempersiapkan perang, warga negara Jepang di Indonesia mulai berkemas dan menyiapkan diri untuk pulang ke Jepang dengan bantuan pemerintah Jepang sendiri. Perdagangan bangsa Jepang di Indonesia pada masa kolonial pun terhenti untuk sementara sampai bangsa Jepang kemudian menguasai Indonesia, merebutnya dari Belanda.


ditulis oleh: Muhamad Maksugi

Sumber: Puji Astuti, Meta Sekar, Apakah Mereka Mata-Mata?: Orang-Orang Jepang di Indonesia (1868-1942), 2008, Yogyakarta: Ombak.

Share this:

1 komentar :

  1. Wah Mantap Gan Artikelnya Tentang Masa Penjajahan,Bagus ini buat para pelajar :)

    BalasHapus

 
Back To Top
Distributed By Blogger Templates | Designed By OddThemes