Kacamata Peradaban

2017/03/12

Kucing Hitam Dianggap Sebagai Simbol Hal Jahat Oleh Sebagian Bangsa?



 

Selama ini kita menganggap bahwa kucing merupakan hewan peliharaan yang lucu, imut, dan menggemaskan. Namun berbeda dengan kucing hitam. Kucing hitam rupanya punya cerita yang menarik dan mitos yang mengerikan dari zaman ke zaman.

Jika sejak 3000 tahun SM kucing hitam di puja-puja oleh bangsa Mesir, di abad pertengahan Eropa kucing hitam justru selalu di kaitkan dengan ilmu sihir. Bagaimana bangsa Eropa bisa mengaitkan kucing hitam dengan ilmu sihir?

Kisah tersebut bermula pada tahun 1560-an, sebuah legenda merebak di Lincolnshire, Inggris. Alkisah, seorang ayah dan anaknya yang lelaki sedang berjalan pada malam hari tanpa bulan, saat seekor kucing hitam ada di tengah jalan yang hendak mereka langkahi.

Secara refleks seorang ayah dan anak lelakinya itu melempar kucing hitam yang tiba-tiba melintas dengan batu, hingga kucing itu terluka dan lari ke rumah seorang wanita, yang pada saat itu diduga seorang penyihir.

Di Amerika, kepercayaan akan kucing hitam juga semakin kuat, apalagi saat perburuan penyihir Salem. Dua puluh orang dihukum mati pada tahun1692, karena dianggap sebagai penyihir yang membuat anak perempuan Pendeta Samuel Parris di Desa Salem, mengalami sakit.

Bahkan hingga kini, kucing hitam dan penyihir tetap populer pada saat perayaan Halloween, dan menjadi simbol hal jahat yang akan terjadi kemudian. Namun, di Scotlandia, warga percaya bahwa kucing hitam tak dikenal yang  beranda rumah akan membawa kemakmuran. Bahkan di wilayah Midlands Inggris, kado pernikahan kucing hitam dipercayai membawa keberuntungan bagi pengantin wanita. Apalagi jika kucing hitam tersebut bersin.

Sumber: National Geographic

2016/11/05

Kisah Memalukan Cristhoper Columbus Sang Penemu Benua Amerika






          Dalam sebuah Istana yang megah di Barri Gotic, Barcelona, sebuah pusat kota pada abad pertengahan, tepatnya pada akhir April tahun 1493 M Sebuah perjamuan yang dipimpin raja dan ratu sedang berlangsung, perjamuan tersebut di dampingi oleh bangsawan yang keberatan perhiasan, mantel bulu dan jubah beludru. Ada pula uskup dengan topi tinggi, pegawai istana yang berdiri kaku mengenakan jubah kebesaran, tentara dari berbagai tingkat yang banjir keringat dalam seragamnya, para duta besar dan dewan kehormatan dari berbagai negara, semuanya hadir terpesona dengan perasaan yang campur aduk antara kagum, bingung, dan iri. Semuanya terfokus pada sosok lelaki yang berdiri dengan sumringah yang merasa terbebas dari rasa curiga, lelaki itu adalah Cristopher Columbus.

Hari itu, Columbus baru saja datang dari Amerika yang belum ia sadari kenyataanya pada saat itu. Ia menceritakan dalam versinya bahwa ia baru saja datang dari Hindia, sebuah negeri rempah-rempah yang menjadi obsesi seluruh pelayaran Eropa pada saat itu.

Ia membawa bukti untuk menutup mulut orang-orang yang meragukanya, yaitu burung kakaktua emas, hijau, dan kuning, orang-orang India, dan kayumanis. Setidaknya itulah yang diyakini Columbus. Ia memang membawa burung Kakaktua asli, namun bukan yang hidup di Asia, begitupun orang-orang India yang dibawanya, enam orang bertampang kebingungan yang diseret maju untuk diperiksa oleh sekumpulan orang itu sebenarnya adalah orang Karibia, bukan dari India.

Dalam hal kayumanis, kesalahan Columbus segera diketahui, seorang saksi melaporkan bahwa panganan berbentuk ranting tersebut memang seperti kayumanis, namun rasanya lebih pedas dari lada dan wanginya seperti cengkeh. Columbus pun berdalih kalau hal tersebut akibat sampel yang dibawanya rusak akibat teknis menejemen penanaman yang jelak. Namun akhirnya terungkap misteri yang sebenarnya bahwa kayumanis yang dibawa Columbus sebenarnya adalah kulit kayu pohon Karibia yang belum teridentifikasi.

Seperti yang diketahui pelajar dalam buku-buku sejarah yang terkurikulumkan, bahwa Columbus adalah penemu Benua Amerika. Columbus yang dianggap sebagai penemu benua Amerika sebenarnya samasekali tidak memiliki tujuan untuk menemukan wilayah baru, pelayaran yang dilakukanya justru buah dari pelayaran memalukan Columbus untuk menemukan negeri rempah-rempah di Hindia. Kisah ini diberi sentuhan patriotisme bangsa Eropa sehingga menjadi manis dan bergairah untuk di ceritakan sebagai bagian dari kehebatan bangsa Eropa.

Bermodalkan kepercayaan diri dan imajinasi yang kaya, Columbus berhasil meyakinkan para investor dan sang raja untuk memberikan modal pelayaran dan mempertaruhkan finansial mereka untuk iming-iming kejayaan yang lebih besar jika berhasil menemukan pusat rempah-rempah di Hindia.

Columbus memberikan ide yang elegan sekaligus radikal untuk meyakinkan para investor dan raja. Menurut Columbus, komoditas dari daerah Timur tidaklah harus berasal dari Timur, dan kaum Barat tidak perlu berlayar ke arah Timur dan membayar harga yang terlalu mahal kepada kaum muslim yang menguasai komoditas besar wilayah Timur dari Maroko hingga Indonesia.

Melalui keyakinan Bumi yang bulat, tentunya cukup masuk akal jika untuk menjangkau pusat rempah-rempah dapat menggunakan jalur yang berbeda, yaitu mengelilingi bumi dari barat. Sebuah kepercayaan yang tidak umum dimiliki oleh orang-orang Eropa pada saat itu. Columbus akhirnya mendapatkan kepercayaan tersebut lalu memulai pelayaran ke arah Barat kemudian terdampar di Benua Amerika yang dianggapnya tanah Hindia yang legendaris itu.

Pelayaran Columbus pun akhirnya menjadi kisah yang memalukan. Dengan imajinasi dan kepercayaan diri yang tinggi, Columbus terus bersikeras meyakinkan orang-orang akan kesuksesan pelayaranya, yang tentu saja ceritanya deberi bumbu khayal picisan khas Abad Pertengahan. Sampel-sampel keliru yang dibawanya adalah upaya untuk menutup mulut orang-orang yang pernah mengejek teorinya dalam menemukan negeri rempah-rempah.

Ditulis: Jack Turner
Disunting: Muhamad Maksugi
Sumber: Turner, Jack., Sejarah Rempah, 2011, Julia Absari (penj), The History of Temptation, Komunitas Bambu, Depok.

2016/11/02

Empat Tokoh yang tak Banyak Dikenal Berperan Membawa Indonesia Merdeka.





1. Eduard Douwe Dekker








2. Dr. Wahidin Sudirohusodo



.

3. Raden Mas Tirto Adhi Soerjo




4. Ernest Douwes Dekker



Gus Dur: Jadilah Islam yang Ramah Bukan Islam yang Marah





Gus Dur, begitulah panggilan akrab Abdurrahman Wahid. Meskipun sosoknya telah tiada, namun jasa dan sumbangsih pemikiranya terhadap Islam Indonesia masih menarik untuk dibicarakan.

Sumbangsih pemikiran Gus Dur terhadap Islam Indonesia berada dipuncaknya ketika menjabat sebagai Presiden pada tanggal 20 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Di bawah kepemimpinanya, Gus Dur membawa Islam Indonesia menuju paham keislaman yang modern dengan menanamkan nilai toleransi antar umat beragama, melindungi kaum minoritas dan memberikan hak-hak sipil dalam menjalankan ritus keagamaan.

Salahsatu langkah Gus Dur dalam memodernkan pemahaman Islam Indonesia adalah menerbitkan kepres No 6 tahun 2000 yang menggantikan inpres No 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Dalam pasal tersebut, Gus Dur memberikan hak-hak sipil Konghuchu dalam menjalankan ritus keagamaanya, seperti membuat hari libur imlek. Gus Dur merasa kalau Pancasila yang di yakininya harus mampu melindungi keyakinan warga sipilnya.

Namun, dibalik usahanya dalam memodernkan Islam Indonesia agar lebih humanis, terdapat beberapa golongan yang justru menganggapnya sebagai tokoh yang telah berjalan terlalu jauh dalam ajaran Islam.

Terlepas dari hal tersebut, Gus Dur telah memberikan pelajaran besar kepada kita bahwa Islam adalah ajaran yang ramah, bukan ajaran yang marah. Seperti yang pernah terjadi saat Gus Dur melarang Pasukan Berani Mati dari Banyuwangi pergi ke Jakarta pada 18 Maret tahun 2001 untuk membela Gus Dur yang telah di lengserkan secara tidak adil. Padahal jika dilihat dari segi politis, dukungan dari Pasukan Berani Mati di Banyuwangi bisa menjadi senjata Gus Dur dalam mempertahankan kekuasaanya dan upaya untuk menegakan kebenaran dalam kedzaliman yang telah diterimanya. Tapi tidak! Gus Dur seolah ingin mengatakan kalau upaya untuk menegakan kebenaran tidak harus menggunakan cara-cara radikal dengan turun ke jalan langsung lalu merugikan banyak pihak.


Ditulis oleh: 
Muhamad Maksugi

Sumber:

2016/10/12

Pedagang Jepang di Indonesia pada Zaman Kolonial



             Kedatangan Jepang ke Indonesia secara politis dimulai pada tahun 1942 setelah kemenangan Jepang dalam Perang Dunia II, lalu berakhir ketika Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka. Namun, sebelum kedatangan Jepang ke Indonesia secara politis, bangsa Jepang telah lama menetap di Indonesia atau pada saat itu masih sebagai Hindia-Belanda melalui hubungan perdagang.

            Pada masa Restorasi Meiji di pertengahan tahun 1880, Jepang mengalami reformasi melalui percepatan industri dan ekonomi. Pembangunan-pembangunan infrastruktur dalam skala besar merata ke seluruh negeri. Namun meskipun demikian, sebagian besar masyarakat Jepang belum tersentuh teknologi modern. Disisi lain, para cendikiawan Jepang pun menyadari bahwa Jepang merupkan negara yang sempit dan miskin akan sumber daya alamnya, sementara penambahan jumlah penduduk Jepang terus meningkat.

            Untuk mengatasi hal tersebut, tercetuslah sebuah pemikiran yang diberi nama Hokushin-ron dan Nanshin-ron dari seorang cendikiawan Jepang bernama Shiga Shigetaka pada tahun 1887, yaitu memindahkan penduduk Jepang ke negara-negara lain, baik itu ke negara-negara sebelah utara maupun ke negara-negara sebelah selatan Jepang. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi jumlah penduduk Jepang yang pada saat itu terlalu berlebihan. Secara khusus, negara-negara yang disebelah selatan Jepang dimaksudkan ke wilayah Asia Tenggara.

            Sejak di resmikanya kebijakan Nanshin-ron, arus perpindahan dan migrasi ke arah selatan Jepang cukup deras, ditambah lagi dengan informasi yang menyebutkan bahwa prospek kerja serta keuntungan dalam perdagangan di sebelah selatan Jepang atau dalam hal ini Asia Tenggara sangat menjanjikan. Bangsa Jepang kemudian masuk ke wilayah Hindia Belanda melalui Singapura.

            Bangsa Jepang di Indonesia

            Bangsa Jepang yang menetap di Indonesia dapat dijumpai di kota-kota besar Hindia-Belanda seperti Medan, Palembang, Batavia, dan Surabaya. Pada awal kedatanganya, orang-orang Jepang yang masuk ke wilayah Indonesia adalah mereka yang bekerja di bidang prostitusi, Gerombolan orang Jepang disebut sebagai Karayuki-san. Itulah sebabnya bangsa Jepang pada masa itu lebih banyak dijumpai di perkebunan-perkebunan atau pelabuhan yang banyak dikunjungi oleh orang-orang Belanda.

            Setelah keberadaan karayuki-san cukup kokoh, barulah berdatangan bangsa Jepang dari kalangan pedagang, terutama para pedagang kelontong.

            Menurut Shimizu Hajimi, seorang ahli sejarah ekonomi Jepang pedagang kelontong awalnya melayani kebutuhan para karayuki-san dengan menyediakan penyewaan kamar serta membuka kedai makanan yang menyediakan pelayanan pemasangan sanggul cara Jepang. Selain itu, para pedagang juga kemudian melakukan perdagangan secara berkeliling memperjualkan alat-alat tulis, ikat pinggang untuk kimono, barang-barang kelontong dan juga obat-obatan, bahkan hingga mereka melirik pangsa pasar lokal di Indonesia.

            Pada tahun 1900 di Hindia-Belanda, bangsa Jepang mendirikan Asosiasi Kerja Sama Masyarakat jepang (Nihon Kaiga Kyokai), yang kebanyakan anggotanya adalah perempuan Jepang di Batavia. Setelah dibentuknya asosiasi tersebut, pedagang-pedagang Jepang banyak yang mendirikan toko di kota-kota besar, sehingga pionir-pionir toko Jepang yang dianggap sukses mengajak sanak familinya untuk datang ke Indonesia karena perdagangan di Indonesia cukup menguntungkan.

Pada tahun 1920-an perdagangan barang kelontong yang di impor dari Jepang terkenal akan barangnya yang murah dengan kualitas baik, sehingga menggeser kedudukan barang-barang produk Belanda yang relatif lebih mahal. Hal ini membuat pemerintah Hindia-Belanda geram dan membuat kebijakan yang membatasi perdagangan orang-orang Jepang. Meskipun demikian, beberapa produk Jepang masih menguasai pasar Hindia Belanda seperti ikan sardin, bir, hingga barang-barang kramik.

Pada saat Jepang sedang gencar memperluas wilayah teritorialnya di tahun 1930-an, Pemerintah Jepang mulai melirik ingin menguasai sumber-sumber minyak di Indonesia untuk keperluan bahan bakar pasukan perangnya. Hal ini membuat pemerintah Hindia-Belanda resah dan menciptakan konflik berkepanjangan dengan pihak Jepang, hingga secara ekstrim pemerintah Hindia Belanda mencurigai toko-toko Jepang yang ada di Hindia Belanda sebagai mata-mata.

Ketika konflik antara Hindia-Belanda mulai memanas, dan kedua negara tersebut sedang mempersiapkan perang, warga negara Jepang di Indonesia mulai berkemas dan menyiapkan diri untuk pulang ke Jepang dengan bantuan pemerintah Jepang sendiri. Perdagangan bangsa Jepang di Indonesia pada masa kolonial pun terhenti untuk sementara sampai bangsa Jepang kemudian menguasai Indonesia, merebutnya dari Belanda.


ditulis oleh: Muhamad Maksugi

Sumber: Puji Astuti, Meta Sekar, Apakah Mereka Mata-Mata?: Orang-Orang Jepang di Indonesia (1868-1942), 2008, Yogyakarta: Ombak.

2016/10/09

Inilah Kehidupan Istri Simpanan Orang Belanda di zaman Kolonial


            Kebutuhan seksualitas pada diri manusia memang tidak pernah terlepas dalam perjalanan sejarah dalam suatu zaman, tak terkecuali di zaman kolonial. Orang-orang Belanda yang melakukan tugas di tempat koloninya, terkadang memaksa mereka untuk meninggalkan orang-orang terdekatnya, tak terkecuali istrinya. Hal ini membuat mereka mencari cara lain untuk menyalurkan hasrat birahinya, seperti pergi ke tempat prositusi.

Namun, tempat prostitusi di zamanya belum bisa memberikan keamanan terhadap ancaman penyakit kelamin. Maka cara yang paling aman untuk tetap menyalurkan hasrat birahi adalah dengan melakukan pergundikan, atau memiliki istri simpanan dari masyarakat pribumi, bahkan dibeberapa tempat para gundik juga berasal dari orang Cina dan Jepang. Para gundik melakukan berbagai aktifitas rumah tangga seperti pada umunya dan menjadi wadah pemuas birahi para tuan Belanda.

Pergundikan semacam ini sempat ramai dilakukan sejak priode VOC. Pada awalnya, pemerintah VOC memberikan kebijakan untuk mendatangkan istri-istri orang Belanda dan kelompok-kelompok kecil gadis Belanda dari rumah-rumah yatim piatu Belanda untuk dinikahkan dengan pejabat-pejabat VOC tinggi maupun rendah. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi intensitas para pejabat Belanda yang hidup bersama dengan para gundik karena tidak sesuai dengan peradaban tinggi bangsa Belanda. Namun ditahun 1647, kebijakan tersebut dikecam karena dengan didatangkanya wanita Belanda membuat pengeluaran pemerintahan VOC menjadi tinggi. akhirnya pada tahun 1657 pemerintah VOC hanya membolehkan istri para pejabat tinggi dan penting saja untuk membawa istrinya. Sejak itulah pergundikan kembali marak dilakukan, khususnya oleh para pegawai perkebunan.[1]

Hubungan seorang Belanda dengan gundik memang tidak memiliki legalitas secara hukum Hindia Belanda yang tidak berpihak kepada pribumi, sehingga kedudukan para gundik yang diberikan kesempatan untuk menikmati kemewahan harta dari seorang Belanda bisa hilang kapan saja ketika seorang Belanda sudah tidak tertarik lagi kepada seorang gundik.[2]

Kondisi demikian terekam dalam karya sastra Pramoedya Ananta Toer dalam Roman Tetralogi Buru Bumi Manusia nya yang menggambarkan seorang gundik dari seorang Belanda Herman Mellema bernama Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh terpaksa melepaskan harta kekayaan yang dibangun dari Herman Mellema karena harta kekayaanya dituntut oleh anak Herman Mellema yang sah di Belanda bernama Maurist Mellema setelah Herman Mellema meninggal. Akhirnya Nyai Ontosoroh tidak memiliki harta lagi.[3]

  Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kemewahan yang dimiliki oleh seorang gundik sangat terikat oleh seorang Tuan Belanda. Sekalipun seorang gundik bisa menikmati kemewahan, namun secara sosial mereka tidak bisa naik kelas setara dengan kaum indo atau kaum totok. Hal tersebut terjadi karena struktur sosial yang eksklusif, orang pribumi dipandang sebagai kalangan kelas sosial terendah yang tidak beradab dan terbelakang.

  Seorang gundik, mereka biasa disebut sebagai Nyai di masa kolonial. Menurut JJ Rizal kata Nyai sudah diselewengkan oleh kolonialisme sehingga menggambarkan sosok yang memiliki sifat penghasut, haus harta, irasional, berpikiran sempit, pencuriga, dan sebagainya yang jelek-jelek, seperti yang digambarkan G. Francis dalam karya sastranya Nyai Dasima.[4]

Dibalik penafsiran G. Francis yang memandang sosok Nyai sebagai tokoh yang buruk dalam karya sastranya tersebut, secara harfiah menurut KBBI, kata nyai memiliki arti sebagai istri gelap, atau wanita simpanan yang tidak pernah dinikahi.

Realitas pergundikan di zaman kolonial tersebut terjadi akibat kondisi sosial yang tersistematis oleh pemerintah VOC. Sejak diberlakukanya pembatasan wanita Belanda ditahun 1652, pergundikan menjadi semakin ramai dilakukan. Hal tersebut seolah mendapatkan dukungan dari pemerintah VOC karena perkawinan sah antara orang Belanda dengan penduduk pribumi harus dilakukan dengan persyaratan yang rumit. Kondisi pergundikan juga semakin diperparah dengan keuntungan yang lebih jika memelihara seorang gundik daripada mengawini wanita Belanda. Memelihara seorang gundik dirasa tidak terlalu memberikan beban, karena para gundik terbiasa hidup dengan sederhana. Selain itu, wanita pribumi yang terkungkung oleh kehidupan yang feodal juga membuat mereka menjadi patuh terhadap Tuanya.[5]

Meskipun demikian, kehidupan para Nyai telah menjadi fenomena kolonial yang eksotis. Hal tersebut terbukti dari banyaknya karya sastra yang mengangkat kehidupan para nyai. Tercatat dari karya sastra G. Francis yang mengangkat kehidupan Nyai dasima telah memberikan popularitas terhadap kehidupan Nyai oleh para sastrawan. Sejak penerbitan Tjerita Njai Dasima untuk pertama kali oleh Kho Tjeng Bie & Co, di Batavia pada tahun 1896, cerita ini telah mengilhami orang-orang untuk mengangkat cerita-cerita seputar Nyai, seperti Njai Painah (1900), Njai Alimah (1904), Njai Aisyah (1915), Njai Soemirah (1917), Njai Marsina (1923). Cerita tersebut terus tersohor di Batavia, bahkan Hindia-Belanda, Semenanjung Malaya, dan Singapura.[6]

ditulis oleh: MUHAMAD MAKSUGI



[1] Negeri Wijaya, Daya, Terasing Dalam Budaya Barat Dan Timur: Potret “Nyai” Hindia Belanda, Abad Xvii-Xx, Jurnal, Universitas Negeri Malang, hal. 1-2
[2] Adji, Muhamad, Peran Perempuan Indonesia dalam Perjuangan Kebangsaan (Kajian terhadap Tokoh Nyai Ontosoroh dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer, Jurnal, pustaka.unpad.ac.id, hal. 5
[3] Ananta Toer, Pramoedya, Bumi Manusia, 2001, Yogyakarta: Hasta Mitra.
[4] S.M. Ardan, G.Francis, pengantar JJ Rizal, Nyai Dasima¸2013, Jakarta: Komunitas Bambu, hal. vii
[5] Negeri Wijaya, Daya, Op Cit, hal. 2
[6] S.M Ardan, G.Francis, pengantar JJ Rizal, Op Cit, viii-ix

2016/10/07

KAU SITI MARYAM




“Sudahlah Sit, sebaiknya kau tak lagi pergi ke tempat itu, kasihan anakmu.” Saran lelaki yang sedang mengkompres luka memar di pipinya. Suaranya memecahkan keheningan malam yang semakin gelap.

“Kasihan katamu? Aku lebih kasihan kalau anak ku tak makan seharian.” Dia tepis tangan lelaki yang sedang berusaha menyembuhkan luka di pipinya, tatapanya berubah menjadi tatapan Singa yang mengancam.

Lelaki itu mundur, ia tak mau kalau wanita yang telah menjadi Singa di depanya menjadi semakin galak. Lalu ia letakan lap yang di genggamnya ke baskom berisi air yang berwarna agak ke merah-merahan akibat darah. Ia tatap anak laki-laki berumur 15 tahun yang sedang tertidur pulas di belakang perempuan itu. Tubuhnya di selimuti tiga lapis sarung kusut di bangku panjang dekat dinding yang terbuat dari kayu yang sudah kropos. Di atasnya terpajang sebuah foto yang menunjukan siapa penghuni rumah kontrakan ini. Foto tersebut menunjukan seorang perempuan dewasa yang menggendong anak laki-laki berumur lima tahunan. Tak ada foto lelaki dewasa yang terpajang di dinding dengan cat yang sudah menguning itu.

Lelaki tersebut berdiri, lalu membalikan badanya meninggalkan perempuan yang pipinya terluka, anak bujang yang tertidur pulas, dan rumah kontrakan yang tak ada satupun perabotan mewah. Langkahnya memecah kesunyian malam yang tak ada satupun suara lagi selain deruman dan getaran kereta yang kadang-kadang lewat.

Ia tarik pintu yang terbuat dari kayu bekas di depanya sehingga menciptakan suara yang mengilukan akibat gesekan engsel karatan yang lama tak di beri oli. Langkah dan gerakanya tiba-tiba terhenti, ia balik arah dan menatap perempuan yang terluka itu dengan iba.

“Anakmu tadi mengigau memangil namamu, suaranya keras sampai terdengar olehku yang baru pulang kerja. Aku hampiri dia, suhunya sangat tinggi. Aku tak tau harus berbuat apa untuk anakmu, lalu aku selimuti dia dengan sarung yang ku temukan setelah mengobrak-abrik lemarimu, maaf aku sudah membongkar lemarimu, Sit. Lalu aku putuskan untuk mencarimu disana.”

Lelaki itu keluar menembus kegelapan malam diiringi oleh suara ngilu yang diciptakan dari engsel pintu karatan.

***

Sekitar beberapa jam yang lalu, lelaki itu keluar menyusuri trotoar jalan meninggalkan bujang kecil yang sedang demam tinggi. Langkhnya kaku, kakinya terlalu lelah untuk di ajak berjalan lagi setelah seharian kerja kuli. Tubuhnya menggigil karena angin malam, apalagi ketika dilewati oleh kendaraan dengan kecepatan tinggi, angin yang berhembus menusuk sampai ke tulang-belulang.

Ia sampai di suatu tempat yang aktifitasnya ramai untuk ukuran tengah malam. Di pinggir jalan, berderet beberapa wanita-wanita cantik hasil polesan lipstik dan bedak. Ada juga seorang lelaki yang sedang bercengkrama dengan salahsatu wanita diantaranya, sambil sesekali tertawa. Ia perhatikan satu per satu deretan wanita tersebut, barangkali ibu dari bujang yang sedang demam tinggi juga ikut berjajar disana.

Setelah menelusuri jalanan diantara deretan wanita-wanita bergincu dan lelaki-lelaki binal, ia tiba di gang sempit dan sepi yang lorongnya gelap. Sambil berusaha mendapatkan cahaya, ia langkahkan kakinya masuk ke dalam.

Dalam terpaan sinar bulan, tiba-tiba terdengar jerit wanita dengan keras di ujung lorong. Jeritanya menghentikan langkah sang lelaki dan memecahkan kesunyian malam. Segera ia berlari menuju sumber jeritan di ujung lorong yang cahayanya semakin terang akibat penerangan bolham lima wat bercahaya kuning.

Ketika jarakanya semakin dekat dengan ujung lorong yang mentok membentuk belokan ke kanan, suara jeritanya semakin jelas dengan iringan rintih dan tangisan yang menahan rasa sakit. Tiba di belokan kanan lorong, tepat di bawah lampu bolham lima wat bercahaya kuning, sang lelaki itu terperanga mendapatkan seorang perempuan yang tak asing baginya dengan muka memar bekas pukulan dan pakaian compang-camping memamerkan sebagian tubuhnya. Di depan perempuan itu terdapat dua orang lelaki bertubuh kekar dengan pakaian ala preman yang salahsatunya memegang balok kayu.

“Sit, Siti. Siti Maryam!?” teriak lelaki itu dengan cemas. Teriakanya membuat semuanya melirik.

“Yusuf?” Lirih Siti Maryam samar sambil menahan sakit.

“Oh... rupanya ada pahlawan kebajikan datang.” Kata seorang lelaki berpakaian preman yang tak memegang balok. Kepalanya botak polos dengan kumis baplang.

“Apa kau mau merasakan seperti apa yang pelacur tak tau diri ini rasakan juga!?” kata lelaki pemegang balok kayu dengan rambutnya yang gondrong.

Mendengar sentakan tersebut, Yusuf merasa terancam lalu menjadi siaga. Ia pasang kuda-kuda lalu memperhatikan setiap senti gerakan kedua orang berpakaian pereman didepanya seperti seorang pesilat pro.

“Kenapa kalian perlakukan perempuan seperti binatang begini?” Tanya Yusuf dengan nada tinggi menuntut tanggungjawab perlakuan mereka.

Cuih... harusnya dia bersyukur aku tak memperkosa dan membunuhnya.” Kata lelaki gondrong dengan balok kayu yang dipegangnya dengan erat.

Angin berhembus dengan kencang, merontokan daun-daun kering dan debu-debu ke tengah mereka. Malam begitu sunyi. Tak ada jangkrik ataupun burung hantu yang biasa ikut mendendangkan nyanyian malam. Hanya daun-daun yang tersapu angin malam saja yang mau mewarnai nyanyian malam.

Pertarunganpun terjadi, kedua lelaki berpakaian preman secara tiba-tiba menyerang Yusuf secara bergantian. Bagai seorang pesilat pro, Yusuf yang sejak kecil dibekali ilmu bela diri oleh ayahnya mampu menghindari serangan bertubi-tubi dari keduanya dengan mudah.

Dalam peluang yang hanya mampu di manfaatkan sekitar sepersekian detik, Yusuf berhasil menghantamkan kepalan tanganya yang sudah terlatih ke muka lelaki gondrong sampai terjungkal, lalu mengambil alih kayu balok dari tanganya dan menghantamkanya tepat dibagian muka sekitar mata musuh yang satunya. Keduanya terkapar.

Lelaki gondrong yang mendapatkan serangan pertama bangkit kembali dan melayangkan sebuah pukulan keras mengarah ke muka Yusuf. Dengan instingnya yang sudah terlatih, Yusuf mampu merasakan ancaman yang datang kurang dari satu detik itu, sehingga mampu menangkisnya dengan balok kayu yang dihantamkan ke tangan si lelaki gondrong dan membuat arah seranganya berbelok.

Dalam keadaan posisi si lelaki gondrong yang sedang tak seimbang, balok kayu yang digenggam Yusuf kembali di ayunkan dengan keras. Kali ini seranganya mengarah ke bagian sensitif manusia di sekitar leher. Seranganya membuat lelaki gondrong itu tergeletak tak sadarkan diri.
Dua orang telah terkapar di hadapanya, mukanya Yusuf menjadi pucat dan badannya kelelahan. Dengan dada yang naik turun, ia lepaskan balok di tanganya dengan lemas lalu menghampiri Siti.

“Kau tidak apa-apa, sit?”

Plaak. Tiba-tiba sebuah telapak tangan mengarah ke pipi Yusuf dengan keras.
“Kau kenapa?” tanya Yusuf yang kebingungan.

Seketika air mata Siti mengalir membasahi pipinya, bercampur dengan darah segar di ujung bibirnya.

Keduanya terdiam dalam kesunyian. Mereka saling menatap, mencoba menerjemahkan bahasa diam yang tak dimengerti oleh keduanya. Karena khawatir kedua orang berpakaian pereman itu bangkit lagi, bahasa diam yang sedang mereka terjemahkan pecah ketika Yusuf mengajak Siti untuk segera bergegas, pulang ke rumah yang di kontrak.

***

          Langit telah biru, cerahnya memberi kabar kepada siapa saja kalau hari sudah siap untuk segera di gerayangi. cahayanya menerpa bumi, menerobos ke sela-sela ruang terkecil, masuk ke kamar-kamar binatang jenis melata sekalipun. Di sela jendela yang gordengnya menggunakan koran bolong-bolong, cahaya berhasil masuk ke ruangan yang sempit, lalu menerpa muka Yusuf yang kusut yang mulai gelisah karena tidurnya terganggu. Ia membuka mata, cahaya siang yang menyilaukan membuat dia terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Ia arahkan pandangan pada jam dinding yang berada tepat di hadapanya.

Di bawah jam dinding itu tergantung sebuah foto hitam-putih sosok kakek tua berpeci hitam dengan bingkai yang terbuat dari kayu jati, kakek tua itu adalah ayahnya. Di pinggir foto terdapat golok yang menggantung, sarungnya dihiasi oleh ukiran huruf Arab sisa peninggalan ayahanda. Golok itu menjadi saksi kematian Ayahnya saat melawan komplotan Komunis yang membunuhnya karena anti terhadap pemuka agama. Sengaja ia pajang foto itu di sana agar bisa mengingat sang Ayahanda dan petuah-petuah kebajikanya saat terbangun dari tidur.

Waktu sudah menunjukan jam sepuluh kurang lima menit, pekiknya dalam hati.

Dalam lamunanya yang bernostalgia dengan petuah-petuah bijak ayahnya, tiba-tiba suara keributan terdengar dari luar yang diiringi dengan teriakan-teriakan tak terkendali. Secara spontan, Yusuf bangkit dari tempat tidurnya meninggalkan kasur lantai yang kapuknya sudah banyak yang keluar. Ia ambil sebuah golok dengan sarung yang berhias huruf Arab yang tergantung di sebelah bingkai foto kakek tua, lalu keluar menuju sumber keributan.

Disumber keributan, kontrakan Siti Maryam yang semalam ia datangi sedang dikerumuni oleh banyak preman-preman, sementara warga sekitar hanya menyaksikan dari kejauhan karena tak mau ikut berurusan dengan pereman-pereman tersebut.

Di depan pintu kontrakan yang halamanya hanya dihiasi teras sepanjang satu meter, Siti Maryam sedang tergeletak tak berdaya sambil terus dihujani tendangan keras dari kaki yang menggunakan sepatu boat. Sementara anak bujang Siti sedang menangis di pojok dinding dengan darah segar yang mengalir di pipinya.

Melihat kondisi yang begitu mengkhawatirkan, peredaran darah yusuf seketika mengalir tak terbendung, jantungnya berdebar dengan cepat.

Dengan ancang-ancang golok yang siap diayunkan, Yusuf berlari dengan cepat menuju preman-preman yang mengkerumuni Siti Maryam. Ia tebas satu per satu preman-preman yang ia lewati, darah mengalir di tanah yang kering. Seranganya mendadak, membuat lawanya tak mampu menyiapkan diri untuk mempertahankan diri atau melakukan serangan. Seranga Yusuf mampu membuat para preman mundur dalam beberapa langkah, sehingga Yusuf mampu mendekati Siti Maryam.

“Kau tak apa Sit?” kata Yusuf dengan khawatir, sambil memeriksa keadaanya.

“Pe... pe... pergi!” perintah Siti yang bersusah payah untuk berbicara.

“Tidak! Aku tidak akan pergi.”

“Ke... kenapa ka.. ka.. kau begitu pe... pe... peduli?”

Yusuf terdiam, dia tak menjawab pertanyaan itu. Yang dilakukanya hanya menatap mata Siti Maryam.

Siti Maryam larut dalam tatapan Yusuf, ada sesuatu yang berbeda dari tatapanya. Tatapan yang belum pernah ia dapatkan dari berbagai lelaki yang pernah ia cumbu atau yang ia kenal. Ini bukan tatapan yang penuh nafsu yang sering ia dapatkan setiap malam. Bukan pula tatapan rasa iba seperti yang diberikan kerabat-kerabatnya. Entahlah, baginya tatapan ini merupakan tatapan yang baru ia dapatkan sepanjang perjalanan hidupnya. Aneh, tatapanya mampu membuat Siti nyaman dalam beberapa detik lalu melupakan rasa sakit disekujur tubuhnya.

Angin berhembus membawa debu-debu di tanah yang gersang, terbang mengikuti arah angin pergi. Satu daun kering jatuh tertiup, melayang bersama debu-debu kemarau, menikuk turun ketika angin terhenti, lalu jatuh diantara Yusuf dan Siti, menghalangi pandangan mereka berdua.

Jlebbb.

Tiba-tiba sebuah belati tertanam di punggung Yusuf, lalu menembus ke dada, tepat mengenai jantungnya. sebuah golok yang Yusuf pegang erat terlepas, kemudian tergeletak begitu saja di tanah. Tubuhnya terkulai, lalu roboh. Tiba-tiba air mata Siti tergerai begitu saja bercampur bersama darah segar.

Sebuah muka dengan senyuman yang sinis muncul dibalik pundak Yusuf yang roboh, memberikan pemandangan yang mengerikan bagi Siti.

Sejurus kemudian, lelaki yang tersenyum sinis dibalik pundak Yusuf yang roboh tadi menarik Siti dengan paksa, lalu membawanya ke luar desa meninggalkan jasad Yusuf dan anak bujangnya yang dari tadi menangis.

Zakaria, anak bungsu Siti yang berdiri di pojok dinding sejak tadi itu sudah mulai menghentikan tangisnya. Ia teringat dengan pesan ibunya, kalau anak lelaki jangan jadi pengecut, apalagi penakut.


Dengan menabahkan dirinya sendiri sambil masih terisak-isak, ia mendekati jasad Yusuf lalu mengambil golok yang tergeletak di tanah. Ia pegang erat-erat golok yang gagangnya berbentuk Singa itu, lalu mengacungkan golok itu ke atas sambil berteriak, “DARAH HARUS DIBAYAR DARAH”

Facebook

 
Back To Top
Distributed By Blogger Templates | Designed By OddThemes