Apa
yang pertamakali terbayangkan ketika mendengar kata “kemenyan”? sebuah ritual keagamaan, media yang mendatangkan aura
mistik, dan mungkin dukun. Semua asumsi-asumsi tersebut muncul karena orang
tradisional biasa menggunakan kemenyan sebagai pelantara menuju dunia ruhani. Namun
dalam dimensi lain, kemenyan juga memiliki fungsi yang bermanfaat bagi dunia
badani.
Sejak
lama, kemenyan telah dikenal oleh orang-orang Nusantara sebagai identitas
kepercayaan sekaligus komoditas ekonomi lokal. Dalam kepercayaan lokal, bau
kemenyan yang menyengat dianggap sebagai media mendatangkan roh nenek moyang
yang sampai sekarang kemenyan masih digunakan dalam upacara-upacara adat
tertentu di Nusantara. Saking melekatnya kemenyan dengan kepercayaan lokal, hingga
kini bau kemenyan selalu di identikan dengan suatu nuansa yang mistisme.
Sebagai
komoditas ekonomi lokal, Kemenyan pernah menjadi getah wangi yang banyak dicari
oleh pasar internasional sejak berabad-abad lalu dengan nilai yang tinggi.
Bahkan Robin Simanjuntak pengelola kemenyan yang masih bertahan saat ini, dalam
tulisan Aufrida Wismi Warasti dalam Kompas mengatakan (24/5) bahwa di masa lalu
nilai kemenyan setara dengan emas. Hal ini menunjukan bahwa kemenyan pernah
menjadi getah wangi yang banyak di butuhkan oleh konsumen internasional.
Saat ini, wilayah yang masih aktif
memproduksi kemenyan berada di dataran tinggi pantai barat Sumatera Utara, diantaranya
adalah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Toba Samosir, Hubang Hasundutan, dan
Pakpak Bharat. Dari data Dinas Perkebunan Sumut 2014 menunjukan, tanaman ini
tumbuh di areal seluas 22.897.82 hektar dengan produksi mencapai 4.968,82 ton.
Tanaman ini kini diusahakan oleh 40.959 petani. Kompas (24/3/2016)
Jejak Kemenyan
Produksi kemenyan di Sumatera Utara telah dilakukan selama ratusan tahun lalu, bahkan menjadi pusat perbelanjaan kemenyan di dunia. Menurut Wolters (1967), hubungan perdagangan antara Sumatera dengan Cina sudah terjalin sejak abad ke-5 M dengan tiga bahan ekspor, yaitu Kamper, Kemenyan, dan getah pohon Cemara. Data lain menyebutkan bahwa pada abad ke-8 M pelaut asal Hadramaut pernah menemukan Kemenyan di Sumatera, lalu mencampurnya dengan getah lain untuk dijual ke Cina.
Dalam literatur dunia, kemenyan
tidak di temukan dalam sumber Cina sebelum abad ke-9 M yang di sebutkan dengan nama
an-shi-hsiang untuk menunjukan
kemenyan dan mur. Dalam literatur Arab, kemenyan baru disebutkan dalam tulisan
Ibnu Batutah yang sempat mengunjungi pantai barat Sumatera Utara pada tahun
1346 M dengan menyebut luban jawi untuk
menunjuk kemenyan. Sementara di Eropa, catatan yang menyebutkan adanya kemenyan
baru muncul pada abad ke-14.
Penyebaran
penggunaan kemenyan ke penjuru dunia di mungkinan tidak berjalan dengan cepat
karena kemenyan tidak tercatat dalam buku pengobatan dan botani abad ke-14 dan
15 M. Meskipun begitu bukan berarti kemenyan sama sekali tidak menyebar ke
barbagai penjuru dunia, karena penggunaan kemenyan bisa saja terjadi dalam
bentuk lain seperti digunakan sebagai perlengkapan ritus keagamaan dan bahan wewangian.
Kebudayaan Kemenyan
Selama ratusan tahun kemenyan telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat tradisional dalam menghormati sang pencipta. Penggunaan kemenyan diduga di awali oleh orang-orang Sumatera. Awalnya kemenyan digunakan untuk kepentingan keagamaan dengan cara membakarnya dalam ritus-ritus upacara keagamaan lokal. Misalnya dalam tradisi masyarakat Batak, kemenyan digunakan untuk ritual penyembahan alam dan asapnya dijadikan media penyembuhan penyakit.
Dalam
riset William Marsden (2013: 177) mengenai Sumatera pada abad ke-18, kemenyan digunakan
sebagai salahsatu perlengkapan dalam ritual pemberian sumpah oleh orang
Sumatera. Kemenyan yang di ekspor ke Arab, Persia dan beberapa daerah di Hindia
menurut Marsden digunakan di tempat ibadah dan rumah-rumah. Selain itu,
kemenyan juga berfungsi mengusir serangga dan bau-bauan yang tidak sedap.
Masyarakat
Tapanuli yang mayoritasnya beragama Kristen berkembang sebuah kisah mengenai
kemenyan. Ketika Nabi Isa dikaruniai seorang anak, datang seorang cendikiawan
yang menghadiahkan kemenyan di Betlehem. Kemenyan yang dibawakan oleh seorang
cendikiawan itu dipercaya di datangkan langsung dari Tapanuli. Meskipun begitu,
kisah ini patut untuk ditelusuri kembali untuk membuktikan kebenaranya.
Terlepas
benar atau tidaknya kisah tersebut, kemenyan telah berkembang menjadi produk
kebudayaan yang mewarnai setiap ritus keagamaan tradisional yang masih bertahan
di beberapa tempat sampai sekarang. Melalui kemenyan, prodak ide kebudayaan menjadi
lebih kaya memperkaya multikultural masyarakat Nusantara dan dunia. Misalnya
dalam kepercayaan orang Jawa, kemenyan dianggap mampu mendatangkan roh nenek
moyang sekaligus mengusir roh jahat. Kepercayaan ini juga mungkin berkembang di
kebudayaan tradisional dunia lainya.
Ketika
masa perlayaran pedagang Islam, kemenyan bertambah fungsi menjadi bahan
pewangi. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa Barus sebagai wilayah pesisir
metropolitan pernah menjadi wilayah yang sangat terkenal dengan minyak wanginya.
Minyak wangi yang di produksi dari Barus merupakan minyak wangi yang berkelas
tinggi, konsumenya bukanlah dari kelas masyarakat kecil melainkan minyak wangi
yang sering digunakan oleh para Sultan Istana. Tentu saja minyak wangi yang
diproduksi dari Barus kemungkinan besar terbuat dari bahan kemenyan karena
disekitarnya berlimpah perkebunan kemenyan. Sejak itulah, kemenyan menjadi
barang mewah bagi pasar internasional, khususnya pasar Timur Tengah dan Cina yang
memiliki minat besar terhadap minyak wangi Barus.
Dalam
kisah Wali Sanga pun kemenyan pernah di gunakan oleh Sunan Kalijaga untuk
dijadikan pewangi ruangan. Namun, kebiasaan masyarakat lokal yang membakar
kemenyan untuk mengundang roh nenek moyang jadi bersinggungan dengan ajaran
Islam, sehingga para Wali lain sempat menegur Sunan Kalijaga karena ulahnya.
Sunan Kalijaga lalu menjelaskan, bahwa kemenyan yang digunakanya bertujuan
untuk mengharumkan ruangan karena Rasulullah SAW pun menyukai wewangian.
Kemenyan dalam Tragedi
Jack
Turner (2005: 182-187) menjelaskan Pada tahun 1603 sekitar 25.000 warga London terjangkit
wabah pes yang membuat mayat-mayat membusuk di jalanan, sementara yang belum
terjangkit berusaha melarikan diri dari kota. Wabah ini menyebar ke hampir
seluruh dunia karena tidak dapat di tanggulangi penyebabnya dan menjadi wabah
paling ditakuti oleh orang-orang di seluruh dunia. Saking mengerikanya wabah
ini, mereka menyebut wabah ini sebagai Black
Death (Maut Hitam).
Akhirnya, berbagai tabib pun melakukan kajian untuk mengetahui penyebab dari wabah mengerikan ini. Lucy, wanita bangsawan dari Bedford menyusun sebuah metafora medis dan mengatakan “korupsi udara”, maksudnya menurut Lucy dan medis abad pertengahan lain menganggap bahwa penyebab dari wabah ini dikarenakan udara yang buruk. Seorang dokter Abad Pertengahan di Valencia, menulis kepada kedua anak lelakinya di Toulouse pada 1315, dia berargumen bahwa udara yang buruk lebih berbahaya dan lebih menularkan wabah di bandingkan makanan dan minuman yang tercemar.
Tentu saja anggapan abad pertengahan ini tidak di tunjang dengan kajian medis yang modern seperti sekarang, mereka tidak mengetahui keberadaan mikroba dan bakteri sebagai penyebab munculnya wabah, sehingga anggapan seperti itulah yang menjadi kepercayaan.
Resep obat pun dibuat berdasarkan anggapan ini, udara yang buruk dapat membawa penyakit, maka udara yang baik mampu memberikan perlindungan terhadap penyakit. Disinilah aromatik dan rempah-rempah memainkan peran penting dalam menangani wabah pes, termasuk kemenyan. Mereka membakar bahan-bahan aromatik di ruangan, agar udara yang diciptakan mampu melindungi dari bau yang dianggap orang abad pertengahan penyebab munculnya wabah pes.
Namun
penggunaan kemenyan termasuk aromatik lain dan rempah-rempah menjadi barang
mewah yang tidak semua orang sanggup menggunakanya. Hanya kalangan bangsawanlah
yang sanggup menggunakanya. Wajarlah, akses untuk mendapatkan barang-barang
tersebut tidak lah mudah karena harus berhadapan dengan bajak laut diperjalanan
dan membutuhkan biaya yang banyak untuk mendatangkanya karena jarak tempuhnya
yang jauh. Sehingga harga rempah-rempah dan aromatik yang di datangkan di Asia
bisa naik sampai 1.000% ketika sampai ke Eropa.
Kemenyan di Era Modern
Di era modern, dimana orang-orang sudah berpikir lebih rasional, kepercayaan masyarakat terhadap mistisme dan roh nenek moyang secara perlahan mulai di tinggalkan. Itu artinya penggunaan media yang mengantarkan kepada dunia mistisme pun ikut ditinggalkan.
Saat penulis melakukan riset ke beberapa warung di sekitar tempat tinggal, kemenyan bakar yang biasa digunakan dalam ritual mistisme sudah sulit di dapatkan. Apakah ini menunjukan bahwa permintaan pasar terhadap kemenyan sudah minim juga? Dalam beberapa hal mungkin iya, namun disisi lain tidak. Untuk kemenyan bakar yang biasa digunakan untuk ritual tertentu mungkin permintaan pasarnya sudah minim, namun permintaan kemenyan untuk keperluan lain masih cukup tinggi.
Dilansir dari Kompas edisi 25 Mei 2015, luas areal yang menanam pohon kemenyan di Sumatera Utara saat ini sudah sepertiga dari luas areal sebelumnya, namun permintaan terhadap kemenyan masih sangat tinggi. Saat ini produksi kemenyan di ekspor ke Eropa untuk dijadikan bahan baku pembuatan minyak wangi. Negara-negara Eropa tersebut diantaranya adalah Prancis, Jerman, dan negara-negara lain yang memproduksi minyak wangi.
Namun
petani kemenyan mengalami kendala dalam mengelola kemenyan karena jangka panennya
cukup panjang yakni selama 10 tahun, sehingga petani tidak mampu memenuhi
permintaan konsumen. Robin Simanjuntak selaku petani kemenyan mengharapkan adanya
bantuan dari pemerintah berupa bibit unggul agar jangka waktu panen kemenyan
bisa dipangkas menjadi 6 tahun.
***
Kemenyan
merupakan bagian dari produk alam Nusantara yang sangat kaya, keberadaan
kemenyan telah membawa umat manusia kepada kenikmatan spiritual yang
mengkhusyukan jiwa dalam ritual-ritual keagamaan. Aromanya telah mengharumkan
pakaian kebesaran Sultan Istana dan dianggap penyelamat nyawa bagi orang-orang
Abad Pertengahan.
Sebagai produk yang mempunyai nilai sejarah dan kebudayaan yang tinggi, kemenyan selayaknya mendapatkan perhatian yang khusus agar bisa lebih dikembangkan lagi pemanfaatanya. Selain demi kepentingan identitas lokal, pengembangan pemanfaatan kemenyan juga sangat potensial untuk meningkatkan ekonomi negara.
Penulis: Muhamad Maksugi
Sumber:
Turner, Jack., Sejarah Rempah, 2011, Julia Absari (penj), The History of Temptation, Komunitas Bambu, Depok.
Marsden, William., Sejarah Sumatera, 2013, Tim Komunitas Bambu (penj), The History of SUmatera, Komunitas Bambu, Jakarta.
Claude Guillot, Lobu Tua Sejarah Awal Barus, 2002, Histore de Barus: Le Site de Lobu Tua I. Etudes et Documents, Yayasan Obor Indonesia.
http://www.silaban.net/2007/04/13/kemenyan-getah-magis-yang-dulu-senilai-emas/, diakses pada 27 Mei 2016
Aufrida Wismi Warasti, Di Cari Dunia, di Abaikan di Negeri Sendiri, Kompas, 24 Mei 2019