Kedatangan
Jepang ke Indonesia secara politis dimulai pada tahun 1942 setelah kemenangan
Jepang dalam Perang Dunia II, lalu berakhir ketika Indonesia memproklamirkan diri
sebagai negara yang merdeka. Namun, sebelum kedatangan Jepang ke Indonesia
secara politis, bangsa Jepang telah lama menetap di Indonesia atau pada saat
itu masih sebagai Hindia-Belanda melalui hubungan perdagang.
Pada masa Restorasi Meiji di
pertengahan tahun 1880, Jepang mengalami reformasi melalui percepatan industri
dan ekonomi. Pembangunan-pembangunan infrastruktur dalam skala besar merata ke seluruh
negeri. Namun meskipun demikian, sebagian besar masyarakat Jepang belum
tersentuh teknologi modern. Disisi lain, para cendikiawan Jepang pun menyadari
bahwa Jepang merupkan negara yang sempit dan miskin akan sumber daya alamnya,
sementara penambahan jumlah penduduk Jepang terus meningkat.
Untuk mengatasi hal tersebut,
tercetuslah sebuah pemikiran yang diberi nama Hokushin-ron dan Nanshin-ron dari
seorang cendikiawan Jepang bernama Shiga Shigetaka pada tahun 1887, yaitu
memindahkan penduduk Jepang ke negara-negara lain, baik itu ke negara-negara
sebelah utara maupun ke negara-negara sebelah selatan Jepang. Hal tersebut
dilakukan untuk mengurangi jumlah penduduk Jepang yang pada saat itu terlalu
berlebihan. Secara khusus, negara-negara yang disebelah selatan Jepang
dimaksudkan ke wilayah Asia Tenggara.
Sejak di resmikanya kebijakan Nanshin-ron, arus perpindahan dan
migrasi ke arah selatan Jepang cukup deras, ditambah lagi dengan informasi yang
menyebutkan bahwa prospek kerja serta keuntungan dalam perdagangan di sebelah
selatan Jepang atau dalam hal ini Asia Tenggara sangat menjanjikan. Bangsa
Jepang kemudian masuk ke wilayah Hindia Belanda melalui Singapura.
Bangsa
Jepang di Indonesia
Bangsa Jepang yang menetap di
Indonesia dapat dijumpai di kota-kota besar Hindia-Belanda seperti Medan,
Palembang, Batavia, dan Surabaya. Pada awal kedatanganya, orang-orang Jepang yang masuk ke wilayah Indonesia
adalah mereka yang bekerja di bidang prostitusi, Gerombolan orang Jepang
disebut sebagai Karayuki-san. Itulah
sebabnya bangsa Jepang pada masa itu lebih banyak dijumpai di
perkebunan-perkebunan atau pelabuhan yang banyak dikunjungi oleh orang-orang
Belanda.
Setelah keberadaan karayuki-san
cukup kokoh, barulah berdatangan bangsa Jepang dari kalangan pedagang, terutama
para pedagang kelontong.
Menurut Shimizu Hajimi, seorang ahli
sejarah ekonomi Jepang pedagang kelontong awalnya melayani kebutuhan para karayuki-san dengan menyediakan
penyewaan kamar serta membuka kedai makanan yang menyediakan pelayanan
pemasangan sanggul cara Jepang. Selain itu, para pedagang juga kemudian
melakukan perdagangan secara berkeliling memperjualkan alat-alat tulis, ikat
pinggang untuk kimono, barang-barang kelontong dan juga obat-obatan, bahkan
hingga mereka melirik pangsa pasar lokal di Indonesia.
Pada tahun 1900 di Hindia-Belanda,
bangsa Jepang mendirikan Asosiasi Kerja Sama Masyarakat jepang (Nihon Kaiga Kyokai), yang kebanyakan
anggotanya adalah perempuan Jepang di Batavia. Setelah dibentuknya asosiasi
tersebut, pedagang-pedagang Jepang banyak yang mendirikan toko di kota-kota
besar, sehingga pionir-pionir toko Jepang yang dianggap sukses mengajak sanak
familinya untuk datang ke Indonesia karena perdagangan di Indonesia cukup
menguntungkan.
Pada
tahun 1920-an perdagangan barang kelontong yang di impor dari Jepang terkenal
akan barangnya yang murah dengan kualitas baik, sehingga menggeser kedudukan
barang-barang produk Belanda yang relatif lebih mahal. Hal ini membuat
pemerintah Hindia-Belanda geram dan membuat kebijakan yang membatasi
perdagangan orang-orang Jepang. Meskipun demikian, beberapa produk Jepang masih
menguasai pasar Hindia Belanda seperti ikan sardin, bir, hingga barang-barang
kramik.
Pada
saat Jepang sedang gencar memperluas wilayah teritorialnya di tahun 1930-an,
Pemerintah Jepang mulai melirik ingin menguasai sumber-sumber minyak di
Indonesia untuk keperluan bahan bakar pasukan perangnya. Hal ini membuat
pemerintah Hindia-Belanda resah dan menciptakan konflik berkepanjangan dengan
pihak Jepang, hingga secara ekstrim pemerintah Hindia Belanda mencurigai toko-toko
Jepang yang ada di Hindia Belanda sebagai mata-mata.
Ketika
konflik antara Hindia-Belanda mulai memanas, dan kedua negara tersebut sedang
mempersiapkan perang, warga negara Jepang di Indonesia mulai berkemas dan
menyiapkan diri untuk pulang ke Jepang dengan bantuan pemerintah Jepang
sendiri. Perdagangan bangsa Jepang di Indonesia pada masa kolonial pun terhenti
untuk sementara sampai bangsa Jepang kemudian menguasai Indonesia, merebutnya
dari Belanda.
ditulis oleh: Muhamad Maksugi
Sumber:
Puji Astuti, Meta Sekar, Apakah Mereka
Mata-Mata?: Orang-Orang Jepang di Indonesia (1868-1942), 2008, Yogyakarta:
Ombak.
Wah Mantap Gan Artikelnya Tentang Masa Penjajahan,Bagus ini buat para pelajar :)
BalasHapus