Seni
merupakan salahsatu bagian terpenting dalam kehidupan manusia, karena dengan
seni manusia mampu membangkitkan jiwanya menjadi lebih bergairah. Bukankah
ketika kita mendengarkan sebuah lagu yang kita sukai di pagi hari dapat membuat
kita menjadi lebih bersemangat? Atau ketika kita dibacakan sebuah puisi oleh
pacar mampu membawa kita ke suasana yang romantic? Begitulah seni, mampu memberikan keindahan
kepada penikmatnya, hingga Abu Jahal pun harus sembunyi-sembunyi untuk
menikmati indahnya lantunan ayat suci Al-Quran dari seorang Sahabat, bahkan Abu
Bakar yang seorang preman pasar itu pun harus mengakui keindahanya ketika
mendengarkan adiknya membacakan Al-Quran. Tapi bukankah ada beberapa ulama yang
mengharamkan sebuah lukisan sebagai bagian dari seni? Maaf, dalam tulisan kali
ini, saya tidak hendak membicarakan bagaimana hukum melukis atau berkesenian.
Tulisan ini hendak membicarakan eksistensi seni dalam Islam.
Sejak
Islam turun ke muka bumi melalui Muhamad bin Abdullah SAW, pada dasarnya Islam
sudah mulai menunjukan tanda-tanda kesenian. Islam diturunkan kepada Rasul
melalui sebuah wahyu dalam bentuk firman-Nya yang dianggap oleh para penyair
Quraisy sebagai syair-syair ciptaan Jin. Artinya, sejak awal Firman Allah
diturunkan, Al-Quran sudah dalam bentuk seni, isinya tidak hanya menyuguhkan
keindahan dari setiap kata yang tersusun, meminjam bahasa Karel Amstrong,
bahasa Al-Quran bahkan mengandung mistis (spiritual).
Islam
bukanlah agama yang menolak seni, bahkan Islam sangat memperhatikan dan
menghargai seni. Bukankah Rasulullah bersahabat baik dengan seorang penyair
bernama Hassan Ibn Tsabit dan memuji-muji syairnya? Rasul SAW pun memberi
pujian terhadap syair Ka’b bin Zuhayr dan memberinya sebuah jubah kehormatan.
Hingga jejak rasulullah tersebut dilanjutkan oleh para Khalifah dan Sultan
dengan memberi penghargaan kepada para penyair sesuai degan keahlianya.
Bagaimana
dengan Seni Rupa? Apakah ada jejak Seni Rupa dalam Islam, sementara sebagian
ulama ada yang mengharamkanya, khususnya gambar?
Seni
Lukis, memang suatu bagian seni yang masih di perdebatkan halal haramnya hingga
sekarang. Namun, saya menemukan kisah yang membuat saya sendiri sedikit
terkejut membacanya. Cerita tersebut dari Azraqi, seorang penulis sejarah Mekah
di masa awal. Ia menceritakan bahwa ketika Muhamad dan sahabat memasuki kota
Mekah setelah kemenanganya, Rasulullah memerintahkan supaya gambar-gambar yang
berada di dalam Ka’bah untuk dihancurkan. Namun, Rasulullah sambil memegang
gambar Maria dengan Yesus dipangkuanya berkata: “bersihkanlah semua gambar itu,
kecuali yang saya pegang.” Azraqi menceritakan bahwa gambar tersebut tetap
disana hingga ketika Ka’bah dihancurkan dalam tahun 63 H.
Meskipun
banyak pandangan yang mengharamkan akan pembuatan makhluk hidup berupa lukisan,
namun nyatanya seni lukis tidak bisa terlepaskan dalam khasanah intelektual
muslim. Memang, Seni lukis belum dikenal oleh umat Islam dari masa Rasulullah dan
Khulafaurasyiddin karena umat baru saja terlepas dari kungkungan Jahiliyah yang
menghambakan wujud apa saja, termasuk lukisan. Namun pada masa Dinasti Umayah,
Sultan Muawiyah dan Abdul Malik memperkenalkan uang logam yang bergambarkan wajah
mereka sendiri. Itu memang bukan dalam bentuk lukisan namun hanya bentuk gambar,
tapi perlu kita pahami bahwa umat Islam pada saat itu masih sangat sensitif
dengan gambar karena beberapa kutipan ayat Al-Quran dan Hadits yang dimaknainya
sebagai larangan membuat gambar. Seni Rupa Islam mulai menunjukan eksistensinya
ketika seni Kaligrafi dikenal pada masa Dinasti Umayah, ketika Islam sudah
menyebar ke berbagai negeri seperti Persia, Mesir dan yang lainya, otomatis
umat Islam pun menjlin kontak dengan kebudayaan setempat. Rupanya umat Islam
pada saat itu yang sudah menyebar membutuhkan media seni rupa untuk disalurkan,
sehingga akhirnya Kaligrafi dipilih menjadi media seni yang cocok untuk
dituangkan karena tidak terdapat unsur gambar makhluk didalamnya. Selain itu
jika di perhatikan lebih lanjut, seni rupa di dunia Islam muncul di negeri-negeri
yang dulunya memang pernah mengenal tradisi seni rupa sebelumnya seperti Persia, Iraq dan Asia Tengah, dimana
wilayah-wilayah tersebut merupakan negeri yang meninggalkan jejak-jejak kuno.
Seni
lukis Islam tertua yang dapat dilacak, ditemukan di dinding istana Dinasti
Umayah yang dibangun oleh Sultan Walid I pada tahun 712 M, lukisan tersebut
bersifat dekoratif yang di isi oleh lukisan
alegoris dan gambar berbagai macam hewan dan tanaman di Qushair Amra, Syiria. Munculnya
lukisan tersebut dimaknai oleh Abdul Jabbar sebagai wujud dari penentangan
terhadap anggapan bahwa melukis diharamkan sebab kemunculanya di abad ke 8 M
merupakan era dimana umat muslim masih terlalu selektif terhadap sesuatu yang ada
diluar Islam. Lukisan lain ditemukan di tembok bekas istana Sultan al-Mu'tazim
dari Bani Abbasiyah di Samarra, Iraq, yang dibangun pada tahun 830-9 M. Lukisan
lain juga dapat ditemukan di Nisyapur, Iran Utara, berupa gambar berelung pada
gif yang menampilkan motif vas dan bunga sekitar abad ke-10, kemungkinan itu
terjadi ketika Nisyapur menjadi pusat peradaban Islam.
Seni
lukis berkembang secara pesat sekitar abad ke-13 ketika negeri Persia secara
bergantian diduduki oleh dinasti Persia, Turk, dan Mongol. Ketiganya terkenal sebagai
dinasti-dinasti yang mencintai dan melindungi seni lukis. Sejak akhir abad
ke-13 M, banyak pelukis Cina yang didatangkan oleh penguasa Mongol untuk
menghiasi dinding-dinding istana mereka. Dari pelukis-pelukis Cina inilah
banyak seniman Muslim yang belajar tehnik melukis dan mengolah warna-warna. Namun
sangat disayangkan, peninggalan lukisan-lukisan muslim tersebut tidak banyak
ditemukan sampai sekarang, hal tersebut menurut Abdul Hadi W. M. dikarenakan dua
bencana yang pernah dialami umat Islam. Pertama akibat kebakaran yang pernah
melanda perpustakaan Kairo pada masa dinasti Fatimiyah di abad ke-12. Bencana
kedua adalah musnahnya perpustakaam di Baghdad akibat penyerbuan bangsa Mongol
pada tahun 1256 M.
Kemudian,
selain seni lukis ada pula seni yang sangat minim dalam khasanah intelektual
muslim, yaitu seni teater. Meskipun sejarah Islam telah melakukan perjalananya
yang sangat panjang, namun seni teater sangat sedikit disentuh oleh seniman
muslim. Padahal Islam telah berhasil melangkahkan kakinya ke Eropa, bersentuhan
dengan kebudayaan Yunani. Saya yakin kalau ilmuan muslim telah mengenal
karya-karya peradaban lain seperti tragedi Sofkos, Aeschylos, dan Euripides. Namun
kita tidak pernah bertemu dengan terjemahan-terjemahan karya teater tersebut
dalam literatur Islam. Menyikapi hal tersebut, Fauz Noor meyakini bahwa
penyebab umat Islam tidak menyentuh karya-karya teater Yunani tersebut karena
teater-teater Yunani bercampur aduk dengan mitologi, bahkan Dewa kadang ikut aktif
menjadi pelaku, ikut menentukan nasib manusia. Sementara ilmuan Muslim pada
saat itu sangat selektif dalam membuat karya. Penafsiran terhadap karya-karya
teater tersebut dikhawatirkan akan merusak tauhid.
Dalam
perjalananya, kalangan Sunni tidak berhasil dalam menciptakan karya teater
Islam. Justru kalangan Syiah lah yang berhasil menciptakan karya teater Islam
dengan corak teater Persianya. Golongan Syiah berhasil mmenciptakan drama
dengan tokoh Imam Husein bin Ali R.A. dengan melukiskan sosok Imam Husein sebagai
pahlawan yang memiliki kecintaanya terhadap Allah SWT. Pementasan teaterikal
ini biasa dipentaskan setiap tahun menjelang Muharam dengan puncaknya pada
tanggal sepuluh atau dikenal dengan hari Asyura.
Melihat
begitu selektifnya ilmuan Muslim pada masa itu, seni teater tidak disentuh
secara serius. Bahkan untuk mentrasformasikanya menjadi lebih islami pun ilmuan
Muslim pada saat itu tidak berhasil. Namun kita tidak perlu kecewa, karena
transformasi karya teater tersebut bisa di wujudkan oleh para Wali di Indonesia
ketika mengislamkan wayang. Para Wali berhasil
mentransformasikan cerita Azimat Kalimusada menjadi Azimah Kalimah
Syahadat, yang dalam ceritanya hanya bisa dimiliki oleh keluarga baik-baik seperti
Pandawa. Pandawa Lima yang terkenal tersebut adalah Yudistira, Seno Werkudoro
(Bima). Permadi Janoko (Arjuna), Nakula, dan Sadewa. Kelima tokoh tersebut
dihubungkan oleh Wali sebagai kewajiban umat Islam yang lima, yaitu Syahadat,
Shalat, Puasa Ramadhan, Zakat, dan Haji.
Demikian
lah jejak Seni dalam peradaban Islam, sebagai agama yang mengutamakan
keselarasan kehidupan dunia dan akhirat, Seni merupakan bagian terpenting dalam
menjalani kehidupan. Tanpa seni hidup kita akan terasa kering, tidak ada
kegairahan dalam menapaki kehidupan yang fana ini. Seperti kata Fauz Noor, “agama
tanpa seni itu gersang, dan seni tanpa agama itu fulgar.” Keduanya seperti dua
sisi dalam muka koin, satu yang tak terpisahkan. Islam pun tidak mungkin
mengejewantahkan seni, sebab Muhamad Iqbal pernah berkata, “Islam tidak mungkin
meninggalkan sesuatu yang berguna bagi kemajuan zaman.” Bukankah Rasulullah SAW
pun sangat menyukai syair Ka’b bin Zuhayr?
Penulis:
Muhamad Maksugi
Sumber:
Abdul Hadi W. M. Seni
Lukis: Dan Pemikirannya Pada Masa Permulaan Islam ahmadsamantho.wordpress.com
M.
Abdul Jabbar Beg, M.A., Ph.D. Seni di
dalam peradaban Islam dihimpun, Penerbit Pustaka Bandung, 1988M.
Fauz
Noor, Tapak Sabda, LKIS, Yogyakarta