Rakyat Indonesia mana yang tak tau
pesantren? Pesantren merupakan sistem pendidikan asli milik Indonesia. Banyak sekali
para sarjana barat yang telah memfokuskan kajianya terhadap Islam dan sistem
pendidikan milik Indonesia ini. Misalnya Snouck Hurgronje, Clifort Greetz,
Karel A Steenbrink, dan masih banyak lagi. Semua itu membuktikan ketertarikan
sarjana barat terhadap keunikan Pesantren sebagai lembaga pendidikan Indonesia.
Pasalnya, sejak masa kolonial, pesantren tidak hanya menjadi wadah bagi umat Islam Indonesia dalam melakukan kajian keagamaan semata, Juga, pesantren pun menjadi wadah
pergerakan dalam melawan penindasan kolonial. Karena gerakan umat Islam sangat
dimotori oleh Pesantren, maka karakter keagamaan disuatu daerah pun sangat
tergantung bagaimana karakter pesantren diwilayah tersebut.
Namun,
ada hal lain lagi yang menarik dari pesantren. Satu hal yang selama ini mungkin
luput dari perhatian kita. Yaitu, kenapa pesantren di Indonesia terletak di
pelosok?
Di Turki, Arab
Saudi, Yaman, dan negara Islam lain, lembaga pendidikan agama justru terletak
ditempat-tempat yang strategis, yaitu di kota. Tapi di Indonesia, Pesantren malah
berada diwilayah-wilayah yang jauh dari keramaian kota. Satu keunikan jika
dibandingkan dengan lembaga pendidikan agama dari negara lain bukan?
Tapi
kenapa semua itu bisa terjadi? Kenapa pesantren di Indonesia berada di
desa-desa? Kenapa hah? Kenapa?
Semuanya tidak terlepas dari proses sejarah.
Sebelum
kolonialisme datang ke bumi Pertiwi, langit-langit ruangan bumi Pertiwi
dipenuhi oleh riak gema Takbir dan Shalawat. Islam mempunyai peran yang
multidimensional bagi rakyat. Islam tidak hanya berperan sebagai kebutuhan spiritual, Islam
juga menjadi kebutuhan politik, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat. Semua kebutuhan tersebut
terpusat pada kehidupan kerajaan. Kerajaan Islam tumbuh subur di Nusantara pada masanya, memainkan
peran spiritual, ekonomi, sosial, dan politik dengan bimbingan dari tokoh agama
yang menjabat sebagai penasihat Raja. Namun semuanya berubah, ada pergeseran kantong keberagamaan yang awalnya berpusat di kerajaan (pemerintah) berpindah ke pedesaan ketika pengaruh kolonialisme menginjakan kaki
ke bumi Pertiwi.
Sejak
munculnya kolonialisme ke Nusantara, pengaruh Eropa masuk ke keraton-keraton
memperkenalkan keserakahan, korupsi, minuman keras, perjudian, dan pengaruh
buruk lain dari Eropa. Akibatnya, raja-raja Keraton kehilangan wibawa dimata rakyat, bahkan
kewibawaanya sudah terinjak-injak karena kewibawaan raja-raja sangat ditentukan oleh Belanda.
Hilangnya
wibawa dari raja-raja tersebut, membuat ulama yang pada saat itu menjabat sebagai penasihat
kerajaan menjadi kecewa. Banyak diantara ulama yang menjabat sebagai penasihat
kerajaan yang akhirnya melarikan diri dari Keraton, lalu pergi ke desa-desa. Dari
desa-desa inilah kemudian para Ulama melakukan pengajian-pengajian bersama masyarakat sekitar hingga kemudian mendirikan pesantren. Namun, ada sebuah pergeseran politik yang
terjadi akibat kekecewaan Ulama yang mengakibatkan mereka untuk meninggalkan Keraton lalu
pergi ke desa-desa. Jika sebelumnya rakyat berlindung dan mendapatkan
perlindungan dari raja Keraton, setelah pengaruh buruk Eropa ke Keraton tersebut,
rakyat justru mendapatkan perlindungan dari Ulama, dan melakukan perlawanan
terhadap kolonialisme. Perlawanan terhadap kolonialisme yang awalnya terpusat di
kerajaan, kini beralih ke pedesaan yang dipimpin oleh Ulama.
Melalui
Pesantren, rakyat dididik dengan pengetahuan agama, tumbuh menjadi pusat
keilmuan, lalu menggalang kekuatan rakyat untuk melakukan perlawanan. Letak pesantren
yang berada di pedesaan ini menguntungkan gerakan rakyat yang dipimpin oleh Ulama
agar gerakanya tidak teralalu mencolok, dan sulit dilacak oleh Belanda. Itulah sebabnya
pesantren muncul di desa-desa dan di tempat-tempat terpelosok, berawal dari
kekecewaan Ulama yang menjabat sebagai penasihat raja, kemudian bergerak ke
pelosok untuk menghindari Belanda dan memimpin Rakyat.
Penulis: Muhamad Maksugi
mantap gi... lanjutkan
BalasHapushaha siap purr
Hapus