“Sudahlah
Sit, sebaiknya kau tak lagi pergi ke tempat itu, kasihan anakmu.” Saran lelaki
yang sedang mengkompres luka memar di pipinya. Suaranya memecahkan keheningan
malam yang semakin gelap.
“Kasihan
katamu? Aku lebih kasihan kalau anak ku tak makan seharian.” Dia tepis tangan lelaki
yang sedang berusaha menyembuhkan luka di pipinya, tatapanya berubah menjadi
tatapan Singa yang mengancam.
Lelaki
itu mundur, ia tak mau kalau wanita yang telah menjadi Singa di depanya menjadi
semakin galak. Lalu ia letakan lap yang di genggamnya ke baskom berisi air yang
berwarna agak ke merah-merahan akibat darah. Ia tatap anak laki-laki berumur 15
tahun yang sedang tertidur pulas di belakang perempuan itu. Tubuhnya di
selimuti tiga lapis sarung kusut di bangku panjang dekat dinding yang terbuat
dari kayu yang sudah kropos. Di atasnya terpajang sebuah foto yang menunjukan
siapa penghuni rumah kontrakan ini. Foto tersebut menunjukan seorang perempuan
dewasa yang menggendong anak laki-laki berumur lima tahunan. Tak ada foto
lelaki dewasa yang terpajang di dinding dengan cat yang sudah menguning itu.
Lelaki
tersebut berdiri, lalu membalikan badanya meninggalkan perempuan yang pipinya terluka,
anak bujang yang tertidur pulas, dan rumah kontrakan yang tak ada satupun
perabotan mewah. Langkahnya memecah kesunyian malam yang tak ada satupun suara
lagi selain deruman dan getaran kereta yang kadang-kadang lewat.
Ia
tarik pintu yang terbuat dari kayu bekas di depanya sehingga menciptakan suara
yang mengilukan akibat gesekan engsel karatan yang lama tak di beri oli. Langkah
dan gerakanya tiba-tiba terhenti, ia balik arah dan menatap perempuan yang
terluka itu dengan iba.
“Anakmu
tadi mengigau memangil namamu, suaranya keras sampai terdengar olehku yang baru
pulang kerja. Aku hampiri dia, suhunya sangat tinggi. Aku tak tau harus berbuat
apa untuk anakmu, lalu aku selimuti dia dengan sarung yang ku temukan setelah
mengobrak-abrik lemarimu, maaf aku sudah membongkar lemarimu, Sit. Lalu aku
putuskan untuk mencarimu disana.”
Lelaki
itu keluar menembus kegelapan malam diiringi oleh suara ngilu yang diciptakan
dari engsel pintu karatan.
***
Sekitar
beberapa jam yang lalu, lelaki itu keluar menyusuri trotoar jalan meninggalkan bujang
kecil yang sedang demam tinggi. Langkhnya kaku, kakinya terlalu lelah untuk di
ajak berjalan lagi setelah seharian kerja kuli. Tubuhnya menggigil karena angin
malam, apalagi ketika dilewati oleh kendaraan dengan kecepatan tinggi, angin
yang berhembus menusuk sampai ke tulang-belulang.
Ia
sampai di suatu tempat yang aktifitasnya ramai untuk ukuran tengah malam. Di
pinggir jalan, berderet beberapa wanita-wanita cantik hasil polesan lipstik dan
bedak. Ada juga seorang lelaki yang sedang bercengkrama dengan salahsatu wanita
diantaranya, sambil sesekali tertawa. Ia perhatikan satu per satu deretan
wanita tersebut, barangkali ibu dari bujang yang sedang demam tinggi juga ikut
berjajar disana.
Setelah
menelusuri jalanan diantara deretan wanita-wanita bergincu dan lelaki-lelaki binal,
ia tiba di gang sempit dan sepi yang lorongnya gelap. Sambil berusaha
mendapatkan cahaya, ia langkahkan kakinya masuk ke dalam.
Dalam
terpaan sinar bulan, tiba-tiba terdengar jerit wanita dengan keras di ujung
lorong. Jeritanya menghentikan langkah sang lelaki dan memecahkan kesunyian
malam. Segera ia berlari menuju sumber jeritan di ujung lorong yang cahayanya semakin
terang akibat penerangan bolham lima wat bercahaya kuning.
Ketika
jarakanya semakin dekat dengan ujung lorong yang mentok membentuk belokan ke
kanan, suara jeritanya semakin jelas dengan iringan rintih dan tangisan yang
menahan rasa sakit. Tiba di belokan kanan lorong, tepat di bawah lampu bolham
lima wat bercahaya kuning, sang lelaki itu terperanga mendapatkan seorang
perempuan yang tak asing baginya dengan muka memar bekas pukulan dan pakaian
compang-camping memamerkan sebagian tubuhnya. Di depan perempuan itu terdapat
dua orang lelaki bertubuh kekar dengan pakaian ala preman yang salahsatunya
memegang balok kayu.
“Sit,
Siti. Siti Maryam!?” teriak lelaki itu dengan cemas. Teriakanya
membuat semuanya melirik.
“Yusuf?”
Lirih Siti Maryam samar sambil menahan sakit.
“Oh...
rupanya ada pahlawan kebajikan datang.” Kata seorang lelaki berpakaian preman yang
tak memegang balok. Kepalanya botak polos dengan kumis baplang.
“Apa
kau mau merasakan seperti apa yang pelacur tak tau diri ini rasakan juga!?”
kata lelaki pemegang balok kayu dengan rambutnya yang gondrong.
Mendengar
sentakan tersebut, Yusuf merasa terancam lalu menjadi siaga. Ia pasang
kuda-kuda lalu memperhatikan setiap senti gerakan kedua orang berpakaian
pereman didepanya seperti seorang pesilat pro.
“Kenapa
kalian perlakukan perempuan seperti binatang begini?” Tanya Yusuf dengan nada
tinggi menuntut tanggungjawab perlakuan mereka.
“Cuih... harusnya dia bersyukur aku tak
memperkosa dan membunuhnya.” Kata lelaki gondrong dengan balok kayu yang
dipegangnya dengan erat.
Angin
berhembus dengan kencang, merontokan daun-daun kering dan debu-debu ke tengah
mereka. Malam begitu sunyi. Tak ada jangkrik ataupun burung hantu yang biasa
ikut mendendangkan nyanyian malam. Hanya daun-daun yang tersapu angin malam
saja yang mau mewarnai nyanyian malam.
Pertarunganpun
terjadi, kedua lelaki berpakaian preman secara tiba-tiba menyerang Yusuf secara
bergantian. Bagai seorang pesilat pro, Yusuf yang sejak kecil dibekali ilmu
bela diri oleh ayahnya mampu menghindari serangan bertubi-tubi dari keduanya
dengan mudah.
Dalam
peluang yang hanya mampu di manfaatkan sekitar sepersekian detik, Yusuf berhasil
menghantamkan kepalan tanganya yang sudah terlatih ke muka lelaki gondrong sampai
terjungkal, lalu mengambil alih kayu balok dari tanganya dan menghantamkanya
tepat dibagian muka sekitar mata musuh yang satunya. Keduanya terkapar.
Lelaki
gondrong yang mendapatkan serangan pertama bangkit kembali dan melayangkan
sebuah pukulan keras mengarah ke muka Yusuf. Dengan instingnya yang sudah
terlatih, Yusuf mampu merasakan ancaman yang datang kurang dari satu detik itu,
sehingga mampu menangkisnya dengan balok kayu yang dihantamkan ke tangan si
lelaki gondrong dan membuat arah seranganya berbelok.
Dalam
keadaan posisi si lelaki gondrong yang sedang tak seimbang, balok kayu yang
digenggam Yusuf kembali di ayunkan dengan keras. Kali ini seranganya mengarah ke
bagian sensitif manusia di sekitar leher. Seranganya membuat lelaki gondrong
itu tergeletak tak sadarkan diri.
Dua
orang telah terkapar di hadapanya, mukanya Yusuf menjadi pucat dan badannya kelelahan.
Dengan dada yang naik turun, ia lepaskan balok di tanganya dengan lemas lalu
menghampiri Siti.
“Kau
tidak apa-apa, sit?”
Plaak. Tiba-tiba
sebuah telapak tangan mengarah ke pipi Yusuf dengan keras.
“Kau
kenapa?” tanya Yusuf yang kebingungan.
Seketika
air mata Siti mengalir membasahi pipinya, bercampur dengan darah segar di ujung
bibirnya.
Keduanya
terdiam dalam kesunyian. Mereka saling menatap, mencoba menerjemahkan bahasa
diam yang tak dimengerti oleh keduanya. Karena khawatir kedua orang berpakaian
pereman itu bangkit lagi, bahasa diam yang sedang mereka terjemahkan pecah
ketika Yusuf mengajak Siti untuk segera bergegas, pulang ke rumah yang di kontrak.
***
Langit telah biru, cerahnya memberi
kabar kepada siapa saja kalau hari sudah siap untuk segera di gerayangi.
cahayanya menerpa bumi, menerobos ke sela-sela ruang terkecil, masuk ke
kamar-kamar binatang jenis melata sekalipun. Di sela jendela yang gordengnya
menggunakan koran bolong-bolong, cahaya berhasil masuk ke ruangan yang sempit,
lalu menerpa muka Yusuf yang kusut yang mulai gelisah karena tidurnya terganggu.
Ia membuka mata, cahaya siang yang menyilaukan membuat dia terbangun dari tidur
yang tak nyenyak. Ia arahkan pandangan pada jam dinding yang berada tepat di
hadapanya.
Di
bawah jam dinding itu tergantung sebuah foto hitam-putih sosok kakek tua
berpeci hitam dengan bingkai yang terbuat dari kayu jati, kakek tua itu adalah
ayahnya. Di pinggir foto terdapat golok yang menggantung, sarungnya dihiasi
oleh ukiran huruf Arab sisa peninggalan ayahanda. Golok itu menjadi saksi
kematian Ayahnya saat melawan komplotan Komunis yang membunuhnya karena anti
terhadap pemuka agama. Sengaja ia pajang foto itu di sana agar bisa mengingat
sang Ayahanda dan petuah-petuah kebajikanya saat terbangun dari tidur.
Waktu
sudah menunjukan jam sepuluh kurang lima menit, pekiknya dalam hati.
Dalam
lamunanya yang bernostalgia dengan petuah-petuah bijak ayahnya, tiba-tiba suara
keributan terdengar dari luar yang diiringi dengan teriakan-teriakan tak terkendali.
Secara spontan, Yusuf bangkit dari tempat tidurnya meninggalkan kasur lantai
yang kapuknya sudah banyak yang keluar. Ia ambil sebuah golok dengan sarung
yang berhias huruf Arab yang tergantung di sebelah bingkai foto kakek tua, lalu
keluar menuju sumber keributan.
Disumber
keributan, kontrakan Siti Maryam yang semalam ia datangi sedang dikerumuni oleh
banyak preman-preman, sementara warga sekitar hanya menyaksikan dari kejauhan
karena tak mau ikut berurusan dengan pereman-pereman tersebut.
Di
depan pintu kontrakan yang halamanya hanya dihiasi teras sepanjang satu meter,
Siti Maryam sedang tergeletak tak berdaya sambil terus dihujani tendangan keras
dari kaki yang menggunakan sepatu boat. Sementara anak bujang Siti sedang menangis
di pojok dinding dengan darah segar yang mengalir di pipinya.
Melihat
kondisi yang begitu mengkhawatirkan, peredaran darah yusuf seketika mengalir
tak terbendung, jantungnya berdebar dengan cepat.
Dengan
ancang-ancang golok yang siap diayunkan, Yusuf berlari dengan cepat menuju preman-preman
yang mengkerumuni Siti Maryam. Ia tebas satu per satu preman-preman yang ia
lewati, darah mengalir di tanah yang kering. Seranganya mendadak, membuat
lawanya tak mampu menyiapkan diri untuk mempertahankan diri atau melakukan
serangan. Seranga Yusuf mampu membuat para preman mundur dalam beberapa
langkah, sehingga Yusuf mampu mendekati Siti Maryam.
“Kau
tak apa Sit?” kata Yusuf dengan khawatir, sambil memeriksa keadaanya.
“Pe...
pe... pergi!” perintah Siti yang bersusah payah untuk berbicara.
“Tidak!
Aku tidak akan pergi.”
“Ke...
kenapa ka.. ka.. kau begitu pe... pe... peduli?”
Yusuf
terdiam, dia tak menjawab pertanyaan itu. Yang dilakukanya hanya menatap mata Siti
Maryam.
Siti
Maryam larut dalam tatapan Yusuf, ada sesuatu yang berbeda dari tatapanya.
Tatapan yang belum pernah ia dapatkan dari berbagai lelaki yang pernah ia cumbu
atau yang ia kenal. Ini bukan tatapan yang penuh nafsu yang sering ia dapatkan
setiap malam. Bukan pula tatapan rasa iba seperti yang diberikan kerabat-kerabatnya.
Entahlah, baginya tatapan ini merupakan tatapan yang baru ia dapatkan sepanjang
perjalanan hidupnya. Aneh, tatapanya mampu membuat Siti nyaman dalam beberapa
detik lalu melupakan rasa sakit disekujur tubuhnya.
Angin
berhembus membawa debu-debu di tanah yang gersang, terbang mengikuti arah angin
pergi. Satu daun kering jatuh tertiup, melayang bersama debu-debu kemarau,
menikuk turun ketika angin terhenti, lalu jatuh diantara Yusuf dan Siti,
menghalangi pandangan mereka berdua.
“Jlebbb.”
Tiba-tiba
sebuah belati tertanam di punggung Yusuf, lalu menembus ke dada, tepat mengenai
jantungnya. sebuah golok yang Yusuf pegang erat terlepas, kemudian tergeletak
begitu saja di tanah. Tubuhnya terkulai, lalu roboh. Tiba-tiba air mata Siti
tergerai begitu saja bercampur bersama darah segar.
Sebuah
muka dengan senyuman yang sinis muncul dibalik pundak Yusuf yang roboh, memberikan
pemandangan yang mengerikan bagi Siti.
Sejurus
kemudian, lelaki yang tersenyum sinis dibalik pundak Yusuf yang roboh tadi menarik
Siti dengan paksa, lalu membawanya ke luar desa meninggalkan jasad Yusuf dan
anak bujangnya yang dari tadi menangis.
Zakaria,
anak bungsu Siti yang berdiri di pojok dinding sejak tadi itu sudah mulai
menghentikan tangisnya. Ia teringat dengan pesan ibunya, kalau anak lelaki jangan
jadi pengecut, apalagi penakut.
Dengan
menabahkan dirinya sendiri sambil masih terisak-isak, ia mendekati jasad Yusuf
lalu mengambil golok yang tergeletak di tanah. Ia pegang erat-erat golok yang gagangnya
berbentuk Singa itu, lalu mengacungkan golok itu ke atas sambil berteriak, “DARAH
HARUS DIBAYAR DARAH”